LUWU UTARA, KOMPAS.com - Muhammad Amin Syam (11), murid kelas VI Madrasah Ibtidaiyah (MI) Nurul Hikmah di Desa Tolada, Kecamatan Malangke, Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan, setiap hari mengayuh sepedanya sejauh 1 kilometer untuk pergi ke sekolah.
Meski mengalami kelainan bawaan sejak lahir, tangan kiri dan kaki kirinya mengecil, semangatnya tak pernah mengerdil.
Naik sepeda dilakoninya setiap hari meski dengan bantuan kaki palsu.
Namun, kaki palsu yang selama ini dipakainya sudah tak layak pakai lagi karena termakan usia. Oleh karena itu, dia berharap bisa memiliki kaki palsu baru.
Hanya saja, ibunya tak memiliki banyak uang untuk menggantinya.
Dia pun terpikir menuliskan surat untuk Presiden Joko Widodo meminta kaki palsu baru. Surat beserta video yang diunggah melalui akun Facebook milik pamannya, Ahmad, viral di media sosial.
Dalam surat yang ditulis tangan tersebut, Amin menuturkan bahwa dirinya tak berharap apa-apa lagi, selain kaki palsu baru, untuk membantu dirinya beraktivitas dan bersekolah.
Amin juga menceritakan kondisi keluarganya yang ada di Desa Tolada yang sulit secara ekonomi. Ibu kandungnya menjadi janda lantaran ayah kandungnya pergi meninggalkan mereka karena tak sudi memiliki anak cacat.
(Baca juga: Suami Istri Lansia "Ngontel" Setiap Hari dari Hutan ke Kota Antar Anaknya yang "Down Syndrome" ke Sekolah)
Amin bercerita pula bahwa dia bersama ibu kandungnya hanya menumpang di rumah tantenya. Padahal, kondisi ekonomi tantenya juga sangat terbatas. Hidup sehari-hari mereka juga kadang tak cukup.
“Saya yang menulis surat itu pada bulan Maret, sekitar 2 minggu yang lalu, dan di-publish di media sosial Facebook atas nama paman saya, Ahmad,” kata Amin, Selasa (10/4/2018).
Amin mengatakan, selain menulis surat, dia juga meminta kepada ibunya untuk merekamnya. Video itu diunggah bersamaan dengan surat tersebut.
“Saya juga meminta kepada ibu untuk memvideokan saya agar lebih jelas keadaan saya, dan video itu saya berikan ke paman untuk di-publish,” ungkapnya.
Amin menuturkan, tidak ada gunanya rendah, baik di sekolah maupun di lingkungan rumah dan pergaulannya.
“Saya tidak punya perasaan lain seperti mau malu kepada siapa saja, saya tetap bergaul bermain dengan teman di sekolah maupun di kampung, dan mereka menerima saya apa adanya,” tuturnya.