Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Alkisah Sudiyono, Buruh Tani Penjaga Cita-cita Anaknya yang Cacat Ganda Ingin Jadi Tukang Batu

Kompas.com - 05/04/2018, 14:28 WIB
Dani Julius Zebua,
Erwin Hutapea

Tim Redaksi


KULON PROGO, KOMPAS.com - Sudiyono, petani asal Dusun Karangasem Kulon, Desa Srikayangan, Kecamatan Sentolo, Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta, mengontel sepeda jenis jengki sambil membelakangi sinar mentari pagi. Ia menyembunyikan matanya di bawah tudung topi pet usang yang sudah kelabu.

Pria berusia 67 tahun ini mengayuh sepeda dalam diam menuju Desa Gotakan di Kecamatan Panjatan yang jaraknya 12 kilometer dari Desa Srikayangan.

Di boncengannya, menyembul wajah remaja berseragam putih biru dengan kaki kiri menjuntai, sedangkan kaki kanan pada injakan sepeda.

Bocah berseragam putih biru itu, Yuli Adiyantoro (16), mengenakan topi pet merah yang tidak kalah usang. Ia selalu memiringkan badannya seolah sebelah kanan selalu lebih berat.

Keduanya terus melewati jalan aspal kecil yang memiliki panorama kanan kiri sawah yang menguning dan siap dituai, juga tegalan berisi jagung yang masih muda. Sesekali dilewatinya kebun jati yang tumbuh seperti hutan, serta ladang bawang yang masih belum siap panen.

Jalan yang mereka lalui itu hampir semuanya beraspal atau disemen mulus, tapi sesekali ada saja jalan semenisasi yang hancur amburadul. Itu tergolong mudah bagi pria jangkung ini.

Sekitar 60 menit kemudian, Sudiyono tiba di Sekolah Luar Biasa Negeri 1 di Gotakan. Yuli, begitu semua orang memanggilnya, belajar di sekolah itu sejak dua tahun lalu. Bersama tujuh siswa lain, mereka berada dalam kelas penyandang tunadaksa.

Baca juga: Suami Istri Lansia Ngontel Setiap Hari dari Hutan ke Kota Antar Anaknya yang Down Syndrome ke Sekolah

Kelainan pada tubuh Yuli

Yuli sejatinya mengalami hidup tidak beruntung, bahkan sejak ia dilahirkan. Yuli lahir prematur pada bulan kedelapan kehamilan Suwarti, wanita yang dinikahi Sudiyono pada tahun 1999. Tubuh Yuli lahir dengan kondisi mungil, hanya 2,1 kilogram, melalui persalinan normal. 

"Kami ini hidup bertani. Mungkin (persalinan prematur) karena kerja yang sangat lelah bertani semasa hamil," kata Suwarti.

Yuli juga mengalami pertumbuhan lamban. Ia pernah terserang paru-paru basah semasa balita. Ia baru bisa berjalan normal di umur empat tahun, tak lama setelah mengalami demam luar biasa yang membuat ia kejang-kejang setengah hari. Tak lama, Yuli mulai bisa berjalan, itu pun harus melalui banyak terapi.

Yuli tidak bisa berjalan tegak sejak semula. Suwarti mengaku tidak menyadari kelainan ini, bahkan sampai lulus TK di desa mereka. Kemudian, Sudiyono dan Suwarti menyekolahkan Yuli ke SD di Dusun Keradenan, Srikayangan.

Semua berjalan biasa selama satu bulan di sekolah itu. Pada suatu hari, saat Yuli pulang sekolah, dua gurunya, yaitu Wuriyem dan Ponirah, mengantarnya pulang.

Mereka menerangkan tentang kelainan berjalan dan daya berpikir anak mereka. Bagi kedua orangtua Yuli, itulah hari ketika seperti disambar geledek di siang bolong. Mengejutkan.

Wuriyem dan Ponirah adalah dua guru yang baik hati. Keduanya menguatkan hati dan memotivasi kedua orangtua Yuli.

Sudiyono menceritakan, keduanya juga menyarankan untuk menyekolahkan Yuli ke SLB di Pengasih. Pasangan suami istri ini mempunyai latar pendidikan yang lumayan.

Sudiyono merupakan tamatan SMA, sedangkan Suwarti lulus dari SPG. Mereka segera tanggap terhadap situasi yang dihadapi Yuli pada masa depan.

"Garwo kulo ngomong ojo getun ning mburi. Iki mesti tetep disekolahke (Istri saya mengatakan, jangan sampai menyesal di belakang. Anak ini harus tetap disekolahkan)," kata Sudiyono mengenang semangat istrinya yang tetap ingin anak mereka bisa sekolah untuk mengejar mimpi.

"Kami ingin dia tetap bisa mandiri," ujarnya. Ia mengenang awal Yuli masuk SLB, sambil mengelap hidungnya yang mulai berair. Air di sudut matanya juga mulai menggenang.

Itulah mengapa Yuli sempat mengenyam enam tahun di SLB yang berada di Kecamatan Pengasih. "Bahkan dua guru tersebut mengantar ke SLB itu," ucap Sudiyono.

Yuli mulai dari nol di SLB ini hingga kelas V. Yuli melanjutkan sekolah ke SLB Negeri 1 Panjatan hingga saat ini.

Baca juga: Perjuangan Lain Suami Istri Lansia Selain Antar Anaknya yang Down Syndrome dengan Ontel ke SLB

Sudiyono bersepeda belasan kilometer hanya untuk membawa Yuli ke SLB. Jalan yang dilintasi beraspal halus, tetapi berbukit dan lembah, juga padat kendaraan dan orang lewat. Saat jalan menanjak, Yuli turun dari boncengan dan Sudiyono mendorong sepeda. Keteguhan hati Sudiyono membuat Yuli rajin ke sekolah.KOMPAS.com/Dani J Sudiyono bersepeda belasan kilometer hanya untuk membawa Yuli ke SLB. Jalan yang dilintasi beraspal halus, tetapi berbukit dan lembah, juga padat kendaraan dan orang lewat. Saat jalan menanjak, Yuli turun dari boncengan dan Sudiyono mendorong sepeda. Keteguhan hati Sudiyono membuat Yuli rajin ke sekolah.

Bertani setelah kena PHK

Selama di sekolah, Sudiyono tidak perlu menunggui Yuli sepanjang hari. Dengan usia yang seperti itu, Yuli sudah bisa ditinggal. Sudiyono menjemput Yuli pukul 13.00 atau saat rehat bekerja sebagai buruh tani di lahan garapan milik mertuanya. 

Karena Yuli bisa ditinggal, Sudiyono bisa membagi waktu untuk banyak hal, mulai dari mengantar jemput Yuli, bertani, panen, hingga mengantar mertuanya yang bungkuk untuk menjalani terapi karena stroke.

Ia berbagi tugas dengan Suwarti. Istrinya memasak, menyiapkan keperluan sekolah dan sarapan. Suwarti juga mengantar anak kedua mereka, Fitri Agustiningsih (9), yang masih SD.

"(Kalau) saya mengantar Yuli dulu sekolah lalu cepat pulang untuk bertani. Saya jemput lagi jam satu, kadang baru keluar sekolah jam tiga, terus tani lagi," tutur Sudiyono.

Bertani merupakan pekerjaan utama untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Sudiyono menggeluti dunia tani setelah kena PHK dari sebuah pabrik jamur di Dusun Tuksono pada 2004.

Di perusahaan itu, sebenarnya ia sudah bekerja 15 tahun lamanya. Perusahaan jamur itu bubar setahun kemudian setelah mem-PHK massal semua karyawan.

PHK bukan akhir segalanya. Saat itu Yuli masih berumur dua tahun. Sudiyono dan Suwarti pun banting setir. Mereka bekerja keras menjadi buruh di lahan tani milik ayah mereka. Dari hasil bertani itulah, mereka bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Baca juga: Kisah Dua Anak Tuna Netra Raih Mimpi dengan Pesawat Terbang

Semangat bersekolah

Yuli anak yang penuh semangat untuk sekolah. Yuli mudah dibangunkan saat pagi. Ia sigap untuk siap-siap ke sekolah dan sudah bisa memakai seragam biru putih sendiri.

Ia menikmati kehidupan dan perhatian sekolah. Itulah mengapa Sudiyono tidak tega membiarkan anak sulungnya tidak sekolah meski sehari saja.

"Hanya saat ada halangan, misal kerja bakti, sripah (kematian di tetangga), rewang (membantu tetangga yang menggelar hajatan). Tapi semangatnya itu yang membuat terenyuh, dia selalu ngomong, 'Kok aku ra sekolah tho' (Kok saya tidak sekolah)," kata Sudiyono.

Sudiyono tidak akan membiarkan Yuli tidak sekolah. Ia dan Suwarti sudah meyakinkan diri bahwa Yuli harus bisa mandiri suatu hari nanti lewat pendidikan luar biasa.

Menurut Sudiyono, Yuli banyak sekali kemajuan sejak sekolah. Tetapi, dengan kecacatan tubuh, tentu masa depannya terbatas.

Sekolah, menurut Sudiyono, telah mengajarkan banyak hal terkait kehidupan orang tua yang merupakan bagian terdekat Yuli, yakni mengenal dunia tani.

Masa depannya berdasar arahan sekolah, menurut Sudiyono, akan berkutat pada kehidupan pertanian.

"Mereka sarankan kami membiasakan juga Yuli mengikuti kegiatan tani, membantu, mengurusi ternak, menyarankan pertukangan. Bersih-bersih, arit-arit seketik seketik (memotong rumput sedikit-sedikit menggunakan pisau sabit)," ujarnya.

Yuli tergolong patuh dan mampu mengikuti petunjuk itu. "Nanging mung entuk semene (Tapi hanya dapat rumput segini)," ucap Sudiyono.

Belakangan, Yuli punya pandangan lain untuk masa depan dirinya. Yuli merasa tertarik menjadi tukang bangunan.

Pada suatu hari, sekitar tiga tahun lalu, saat pembangunan kamar mandi di rumah Sudiyono, Yuli menyaksikan para tukang mengaduk pasir dan semen hingga memasang bata. Sejak itu, Yuli selalu mengatakan keinginannya jadi tukang batu seperti mereka.

Sudiyono tidak tega memaksakan kehendak, termasuk ketika dia sering mengatakan akan menjadi tukang bangunan.

"Kadang ngulet-ngulet (mengaduk) pasir. Ngadon (Tanah dicampur air). Aku pengin dadi (ingin jadi) tukang batu," katanya.

Sudiyono berharap bisa menjadi malaikat penjaga cita-cita anaknya, jadi apa pun, termasuk tukang batu. Itulah mengapa Sudiyono siap pergi pulang puluhan kilometer berkali-kali dalam sehari demi bisa mewujudkan harapan anaknya itu.

"Intinya, orangtua ini kalah cacak menang cacak, ya maksude disekolahke," tuturnya. Ia mengungkap pepatah Jawa yang berarti ada hasil ataupun tidak ada hasil, harus semangat dan tidak berhenti mencoba.

Baca juga: Tidak Kalah dari Desainer Terkenal, Gadis Tunagrahita Ini Mampu Desain Baju 

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com