AMBON, KOMPAS.com - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Ambon dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Pengda Maluku meminta, kasus kekerasan berupa intimidasi serta pemukulan terhadap dua jurnalis di Kota Ambon yang kini tengah ditangani Polda Maluku, dapat berlangsung transparan dan independen.
Sekretaris AJI Ambon, Nurdin Tubaka mengatakan, polisi harus dapat menangani kasus tersebut secara transparan karena melibatkan salah satu calon gubernur Maluku dan sejumlah pejabat daerah. Sebab, peristiwa tersebut merupakan preseden buruk bagi kebebasan pers di Maluku.
“AJI Kota Ambon meminta Polda Maluku agar proses hukum atas insiden kekerasan di Warung Kopi Lela tiga hari lalu dapat ditangani secara serius dan transparan. Ini demi menjaga kredibilitas aparat penegak hukum di mata publik, sekaligus melindungi marwah hukum sebagai panglima tertinggi di negara ini,” kata Tubaka, Minggu (1/4/2018).
Dia menyebut, aksi intimidasi yang dilakukan calon gubernur Said Assagaff dan sejumlah tim suksesnya merupakan sikap arogan dan tindakan premanisme yang telah melanggar Kebebasan Pers sebagaimanan ketentuan Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999.
“Untuk itu, sekali lagi kami meminta pihak kepolisian harus benar-benar serius untuk menegakkan supremasi hukum atas tindakan pembungkaman terhadap kerja-kerja jurnalis,” tegasnya.
Baca juga : Said Assagaff Sebut Penganiayaan terhadap Wartawan By Accident
Sementara itu, Ketua Divisi Advokasi dan Humas IJTI Pengda Maluku, Muhammad Jaya Barends menyatakan, pihak kepolisian agar dapat menunjukkan komitmennya dalam penanganan kasus tersebut.
Menurutnya, dalam melaksanakan profesinya, wartawan mendapat perlindungan hukum yang secara eksplisit diatur dalam Pasal 8 Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Kebebasan Pers.
“Insiden intimidasi disertai kekerasan yang dilakukan calon kepala daerah Maluku bersama tim suksesnya itu juga melanggar Pasal 18 ayat 1,” ujarnya.
Jaya menambahkan, tindakan kekerasan terhadap Ketua AJI Ambon Abdul Karim Angkotasan dan wartawan Rakyat Maluku, Sam Hatuina, telah mencedarai semangat kebebasan pers dan membunuh konsolidasi demokrasi.
Di tempat terpisah, Juru Bicara Serikat Kerja Lawan Intimidasi (SK LELA), Bachtiar Heluth juga menegaskan, tindakan kekerasan berupa apapun yang dilakukan terhadap jurnalis harus ditindak sesuai hukum yang berlaku.
“Ini permasalahan khusus dan lebih spesifik, sehingga kasus kekerasan juga harus dibijaki dengan UU Nomor 40 Tahun 2019 tentang Pers. Kami sangat mengapresiasi pihak kepolisian yang serius menangani kasus tindak kekerasan jurnalis ini,” ujarnya.
Baca juga : Sejumlah Wartawan di Ambon Mengaku Diintimidasi Cagub Petahana Maluku
Dia menegaskan bahwa kasus yang telah dilaporkan ke polisi itu tidak ada sangkut pautnya dengan kepentingan politik Pilkada Maluku. Sebab kasus yang terjadi itu murni merupakan upaya membumkam kebebasan pers di Maluku.
“Kami tegaskan bahwa kasus ini murni kekerasan terhadap jurnalis. Kami tidak ingin ada spekulasi liar. Prinsipnya, perjuangan ini jauh dari kepentingan politik pihak manapun,” tegas Bachtiar.
Para korban saat ini telah menyerahkan kasus tersebut ke kuasa hukumnya. Selain itu, ada lima pengacara yang telah disiapkan AJI Indonesia dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, untuk menangani perkara tersebut.