Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

100 Hektar Kubis Rusak Terkena Gas Beracun dari Gunung Ijen, Petani Merugi

Kompas.com - 23/03/2018, 16:43 WIB
Kontributor Banyuwangi, Ira Rachmawati,
Farid Assifa

Tim Redaksi

BONDOWOSO, KOMPAS.com - Sekitar 100 hektar lebih lahan kubis di lereng Gunung Ijen rusak karena terdampak gas beracun yang keluar dari bualan atau letupan yang muncul dari kawah Gunung, Rabu malam (21/3/2018).

Kondisi daunnya menguning dan mengering. Bahkan sebagian petani terpaksa panen awal untuk menghindari kerugian yang lebih besar.

Arga, petani kubis warga Rejomulyo kepada Kompas.com, Jumat (23/3/2018), mengatakan, pasca-keluarnya gas beracun dari kawah Gunung Ijen, dia langsung menyambangi kebunnya yang berjarak sekitar 3 kilometer dari gunung api tersebut, Kamis (22/3/2018).

"Saya kaget ketika tahu tanaman kubis saya kering kayak gini. Padahal saya sudah keluar modal hampir 10 juta rupiah dan sekarang harga kubis lagi bagus-bagusnya," kata Arga.

Dia dan beberapa petani memilih untuk memperbaiki kondisi tanaman dengan menyemprotnya menggunakan pupuk daun. Namun kegiatan tersebut baru bisa dilakukan hari ini, Jumat (23/3/2018) setelah semua kondisi kembali normal.

"Kalau kemarin nggak boleh ke kebun di sekitar sini. Takut ada apa-apa lagi. Tapi hari ini mau nggak mau ya harus segera disemprot dari pada rugi banyak," kata Arga.

Baca juga : Hirup Gas Beracun dari Kawah Ijen, Satu Orang Ditemukan Pingsan di Mobil

Hal senada juga dijelaskan Sudi (67). Tanaman kubis yang masih berusia 2 bulan rusak karena dampak gas beracun. Sambil menghela nafas berat, dia bercerita bahwa kubis yang dia tanam di lahan dua hektar tersebut sudah dibayari oleh pembelinya senilai Rp 60 juta.

"Saat saya bilang ada bencana gas beracun, pembelinya nggak mau tahu. Pokoknya harus panen. Mangkanya saya usaha bagaimana agar tunas yang di tengahnya ini selamat dan bisa panen," jelasnya.

Ia kemudian menunjukkan bagian tengah kubis yang masih terlindung dengan daun yang menguning.

"Mungkin dari 4 tanaman kubis yang bisa panen cuma satu. Rugi besar pasti tapi ya gimana lagi," jelasnya.

Sementara Hasyin memilih untuk panen kubis lebih awal daripada harus menunggu musim panen untuk mengurangi kerugian dari modal yang ditelah dikeluarkan. Menurutnya, rata-rata untuk menanam kubis di lahan 1 hektar memubutuhkan modal antara Rp 20 juta sampai Rp 25 juta.

"Itu baru modal saja, belum tenaga kerja, bensin dan lainnya. Daripada rugi banyak ya mending saya panen saja. Seharusnya sebulan lagi ini panennya," tambah Hasyin.

Kepala Desa Kalianyar, Mahfud kepada Kompas.com mengatakan, luas lahan kubis di wilayahnya ada sekitar 100 hektar lebih dan berada di sekitar lereng Gunung Ijen. Hampir sebagian warganya adalah petani dan buruh di lahan kubis tersebut.

"Karena dampak gas beracun ini hampir seluruh lahan kubis rusak. Kalau bisa panen separuhnya saja buat mengembalikan modal sudah seneng kalau lihat kondisinya kayak gini," katanya.

Baca juga : Gas Beracun Gunung Ijen, Warga Mengungsi hingga Pendakian Ditutup

Kejadian serupa pernah dialaminya pada tahun 2014 lalu, namun kondisi kubis tidak separah saat ini. Mahfud sendiri mengelola 2 hektar lahan kubis dengan modal hampir Rp 50 juta.

"Sekarang yang perlu disyukuri ya selamat dan nggak ada korban. Sekarang tinggal dipupuk daun biar daunnya bisa kembali normal. Tapi ya butuh modal untuk beli pupuk daunnya," jelasnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Pj Gubri Ajak Pemkab Bengkalis Kolaborasi Bangun Jembatan Sungai Pakning-Bengkalis

Pj Gubri Ajak Pemkab Bengkalis Kolaborasi Bangun Jembatan Sungai Pakning-Bengkalis

Regional
Diskominfo Kota Tangerang Raih Penghargaan Perangkat Daerah Paling Inovatif se-Provinsi Banten

Diskominfo Kota Tangerang Raih Penghargaan Perangkat Daerah Paling Inovatif se-Provinsi Banten

Regional
Fakta dan Kronologi Bentrokan Warga 2 Desa di Lombok Tengah, 1 Orang Tewas

Fakta dan Kronologi Bentrokan Warga 2 Desa di Lombok Tengah, 1 Orang Tewas

Regional
Komunikasi Politik 'Anti-Mainstream' Komeng yang Uhuyy!

Komunikasi Politik "Anti-Mainstream" Komeng yang Uhuyy!

Regional
Membedah Strategi Komunikasi Multimodal ala Komeng

Membedah Strategi Komunikasi Multimodal ala Komeng

Regional
Kisah Ibu dan Bayinya Terjebak Banjir Bandang Berjam-jam di Demak

Kisah Ibu dan Bayinya Terjebak Banjir Bandang Berjam-jam di Demak

Regional
Warga Kendal Tewas Tertimbun Longsor Saat di Kamar Mandi, Keluarga Sempat Teriaki Korban

Warga Kendal Tewas Tertimbun Longsor Saat di Kamar Mandi, Keluarga Sempat Teriaki Korban

Regional
Balikpapan Catat 317 Kasus HIV Sepanjang 2023

Balikpapan Catat 317 Kasus HIV Sepanjang 2023

Regional
Kasus Kematian akibat DBD di Balikpapan Turun, Vaksinasi Tembus 60 Persen

Kasus Kematian akibat DBD di Balikpapan Turun, Vaksinasi Tembus 60 Persen

Regional
Puan: Seperti Bung Karno, PDI-P Selalu Berjuang Sejahterakan Wong Cilik

Puan: Seperti Bung Karno, PDI-P Selalu Berjuang Sejahterakan Wong Cilik

Regional
Setelah 25 Tahun Konflik Maluku

Setelah 25 Tahun Konflik Maluku

Regional
BMKG: Sumber Gempa Sumedang Belum Teridentifikasi, Warga di Lereng Bukit Diimbau Waspada Longsor

BMKG: Sumber Gempa Sumedang Belum Teridentifikasi, Warga di Lereng Bukit Diimbau Waspada Longsor

Regional
Gempa Sumedang, 53 Rumah Rusak dan 3 Korban Luka Ringan

Gempa Sumedang, 53 Rumah Rusak dan 3 Korban Luka Ringan

Regional
Malam Tahun Baru 2024, Jokowi Jajan Telur Gulung di 'Night Market Ngarsopuro'

Malam Tahun Baru 2024, Jokowi Jajan Telur Gulung di "Night Market Ngarsopuro"

Regional
Sekolah di Malaysia, Pelajar di Perbatasan Indonesia Berangkat Sebelum Matahari Terbit Tiap Hari

Sekolah di Malaysia, Pelajar di Perbatasan Indonesia Berangkat Sebelum Matahari Terbit Tiap Hari

Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com