Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Rumah Baca Sangkrah Mengubah Stigma Kampung Preman

Kompas.com - 18/03/2018, 08:40 WIB
Muhlis Al Alawi,
Erlangga Djumena

Tim Redaksi

SOLO, KOMPAS.com - Stigma Kampung Dadapsari, Kelurahan Sangkrah, Kecamatan Pasar Kliwon, Kota Solo yang acapkali dicap sebagai salah satu kampung preman membuat sekelompok warga berang.

Beberapa warga setempat bersama Dany Setyawan, seorang pegiat sosial membuat rumah baca untuk memberikan pencerahan bagi warga di wilayah perkampungan yang tinggi jumlah masyarakat miskin dan berpendidikan rendah.

Bukan tanpa alasan. Kondisi perkampungan kota yang terletak di bantaran Kali Pepe ini, mayoritas masyarakatnya adalah masyarakat miskin kota dan berpendidikan rendah. Kondisi kemiskinan yang dialami membuat orang tua menuntut anak-anak mereka untuk bekerja selepas lulus SMA.

Konsekuensinya, anak-anak lulusan SMA yang tidak memiliki keahlian yang cukup mengakibatkan ketidak siapan para remajanya memasuki dunia kerja. Akibatnya mereka sering berpindah pindah pekerjaan dan bahkan ada yang berhenti bekerja.  

Rumah Baca Sangkrah Solo menghadirkan hiburan musik untuk warga sekitar. Dokumentasi Rumah Baca Sangkrah Rumah Baca Sangkrah Solo menghadirkan hiburan musik untuk warga sekitar.
Kondisi itu diperburuk dengan adanya stigma hitam yang melekat kepada warga masyarakat Kampung Dadapsari Sangkrah Solo. Stigma itu mengakibatkan warga masyarakat kesulitan mencari pekerjaan formal.

"Banyaknya pengangguran di kampung Dadapsari Sangkrah Solo mengakibatkan remaja mengenal alkohol, terlibat dalam kenakalan remaja, perjudian. Bahkan ada beberapa pemuda terlibat dengan tindakan tindakan kriminalitas seperti pencurian, perampokan, penjambretan, narkoba," kata Pembina Rumah Baca Sangkrah, Danny Setyawan (42) kepada Kompas.com, Jumat (16/3/2018) siang.

Kabar terakhir kata Danny, di kampung itu ada warganya menjadi salah satu buronan paling dicari oleh kepolisian Indonesia karena terlibat aksi terorisme jaringan internasional, Bahrun Naim.

Danny menceritakan sebelum mendirikan rumah baca, awalnya ia diminta warga setempat untuk membuat perpustakaan. Lalu ia menyarankan untuk dibuat rumah baca saja agar tidak terkesan formal. "Apalagi kampung di sini dikenal stigma hitam sangat kuat sekali semacam kampung preman," kata Danny.

EKSPOR --Inilalah patung bebek karya anak-anak Rumah Baca Sangkrah yang diekspor hingga Jerman.KOMPAS.com/Muhlis Al Alawi EKSPOR --Inilalah patung bebek karya anak-anak Rumah Baca Sangkrah yang diekspor hingga Jerman.
Tidak adanya ruang publik yang dapat dipergunakan untuk membangun rumah baca menjadi kendala utama. Setelah berembuk dengan pemangku wilayah dan beberapa tokoh masyarakat, disepakati menggunakan bangunan pos ronda di ujung kampung yang sudah lama tidak terpakai.

Pos ronda berukuran 1,5 meter x 2,5 meter kemudian direnovasi secara swadaya dan membangun rak rak buku untuk perpustakaan kampung. Niat baik para pemuda setempat membangun rumah baca mendapatkan respons dari berbagai pihak.

Dibantu beberapa relawan dari luar kampung, para pemuda memaksimalkan aksi postif itu dengan menggunakan media sosial seperti Facebook, Twitter, dan Instagram. Hasilnya, netizen yang membacanya, tergerak membantu dengan mengirim bantuan buku baca dari seluruh Indonesia. "Dan akhirnya rumah baca itu secara resmi dibuka terhitung sejak 17 Januari 2014 silam," kata Danny.

Di awal pergerakannya sebut dia, rumah baca fokus pada penggalian dan pengembangan potensi, bakat dan minat dari usia 5 tahun hingga usia 35 tahun. Untuk usia anak anak, rumah baca menitik beratkan kepada penggalian potensi, bakat, minat dan pembentukan karakter serta mentalitas.

Sementara untuk usia remaja, rumah baca menitik beratkan kepada pengembangan potensi, bakat, minat, karakter, pola pikir dan mental dengan penitik beratan kepada life skill.

Untuk melakukan kegiatan itu, ruangan seluas 1,5 meter x 2,5 meter jelas tidak memadai. Mereka lalu menggunakan tempat bahu jalan dan Sekolah Dasar Negeri Dadapsari Solo untuk melakukan berbagai kegiatan hingga akhir tahun 2015. "Tetapi kalau musim penghujan tiba seluruh kegiatan yang dilakukan oleh rumah baca terpaksa harus dihentikan," ungkap Danny.

Kebutuhan akan ruang untuk program pemberdayaan, awal Februari 2016, dengan bantuan beberapa teman rumah baca menyewa sebuah rumah seluas 300 meter persegi seharga Rp 20 juta setahunnya. "Rumah itu sampai sekarang digunakan untuk berbagai kegiatan pemberdayaan warga," jelas Danny.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com