Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Agung Menempa Gamelan, Menebarnya hingga Jepang dan Eropa

Kompas.com - 07/03/2018, 14:55 WIB
Muhlis Al Alawi,
Caroline Damanik

Tim Redaksi

SUKOHARJO, KOMPAS.com - Meski kemajuan zaman terus menggeliat, tak membuat industri gamelan meredup. Piranti gamelan berupa gong yang berbahan dasar tembaga dan timah menjadi salah satu alat musik yang makin banyak peminatnya.

Salah satu industri gamelan yang masih eksis di wilayah Solo Raya, yakni milik Agung Kuncoro (47) di Jatiteken, Desa Laban, Kecamatan Mojolaban, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah. Sudah lima tahun lamanya, Agung bergelut dalam dunia industri gamelan.

"Sudah lima tahun saya merintis usaha ini. Usaha ini warisan kakek saya yang dulunya menjadi pegawai Mangkunegaran dan dilanjutkan bapak saya," kata Agung yang ditemui Senin (5/3/2018).

Saat dipegang ayahnya, lanjut Agung, usaha tersebut pernah vakum selama dua tahun. Melihat kondisi itu, dia tergugah untuk kembali menghidupkan usaha tersebut kendati dengan modal pas-pasan.

TEMPA--Salah satu karyawan Agung Kuncoro menempa lempengan untuk membentuk gong. KOMPAS.com/Muhlis Al Alawi TEMPA--Salah satu karyawan Agung Kuncoro menempa lempengan untuk membentuk gong.
Sebagai langkah awal, Agung tak muluk-muluk. Saat pertama kali meneruskan usaha warisan bapak itu, dia menggarap gong dan kempul.

(Baca juga: Anak Pemecah Batu Menangis Cium Kaki Ayah setelah Resmi Dilantik Jadi Polisi)

Dari usahanya itu, keuntungan diraihnya sedikit demi sedikit hingga akhirnya dia bisa membuat piranti gamelan dalam skala besar.

"Sekarang omzetnya berkisar Rp 300 sampai 400 juta," kata Agung.

Jumlah karyawannya pun terus bertambah. Saat memulai usaha, karyawannya hanya bisa dihitung dengan jari. Kini karyawannya mencapai tiga puluh orang.

Dia pun mengelompokkan karyawan berdasarkan keahliannya untuk menyelesaikan piranti gamelan yang berbeda. Piranti gamelan yang dibuat Agung berbagai macam yang terbuat dari bahan logam.

"Segala macam gamelan kami buat terkecuali yang bahannya dari kayu. Produk yang kami buat seperti punang, kenong, bilah, kimpol dan gong," kata Agung.

(Baca juga: Kisah Difabel Pengemudi Ojek "Online", Penumpang Kerap Batalkan Pesanan Setelah Bertemu (1))

Khusus itu bahan dasar pembuatan gong, Agung mengatakan, bahan dasarnya berupa tembaga dan timah. Tembaga diperolehnya dari sekitaran Solo, sedangkan timah didapatkan dari Jakarta.

Untuk tembaga, dia mengaku bahan baku tersebut adalah barang bekas yang berwujud kabel dengan perbandingan tiga berbanding satu. Tiga untuk tembaga dan satu untuk timah. Untuk memudahkan mengingatnya, sebutan lain adalah gongso, yakni tigo dan sedoso, yang artinya tiga berbanding sepuluh.

Setelah terkumpul bahannya, lanjut Agung, kedua unsur logam tersebut kemudian dilebur menjadi satu hingga berwujud sebuah lempengan lempengan.

Lempengan tersebut kemudian diolah lebih dengan proses pande, dibakar dengan bara api yang panas.

Ketika lempengan telah berubah warna menjadi merah beberapa pekerja siap menempa lempengan tersebut secera bergantian. Bunyi khas keluar saat lempengan tersebut ditempa dengan palu besi.

Halaman:



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com