Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Wayang Kulit Madura, Hidup Segan Mati Tak Mau (5)

Kompas.com - 06/03/2018, 07:00 WIB
Taufiqurrahman,
Caroline Damanik

Tim Redaksi

PAMEKASAN, KOMPAS.comPementasan wayang kulit pernah menjadi salah satu hiburan rakyat yang digandrungi, selain kesenian ludruk dan saronen di Madura. Warga yang menonton tidak hanya orang tua. Anak-anak juga biasanya ikut bersama dengan orangtuanya.

(Baca juga : Wayang Kulit Madura, Hidup Segan Mati Tak Mau (1))

Namun keramaian ini sekitar 30 tahun lalu. Kini tak ada lagi pemandangan serupa. Seingat Kosala, pementasan wayang Madura terakhir kali pada tahun 2010 silam di saat pagelaran budaya bertajuk Semalam di Madura. Namun semenjak itu, tak pernah ada lagi pementasan wayang di Madura.

(Baca juga : Wayang Kulit Madura, Hidup Segan Mati Tak Mau (2))

Meninggalnya dua dalang yang hampir bersamaan itu menyebabkan Madura vakum dalang wayang kulit. Kekosongan dalang ini terjadi dalam kurun waktu dari tahun 2001 sampai 2003. Pentas wayang kulit Madura pun matu suri.

Novem Ali Sahos Sudirman (48), warga Desa Polagan, Kecamatan Galis, Kabupaten Pamekasan, lalu terpanggil untuk meneruskan warisan Ki Loncet dan Abdul Kadir, ayah kandungnya.

(Baca juga : Wayang Kulit Madura, Hidup Segan Mati Tak Mau (3))

Novem Ali atau yang dikenal dengan nama Ki Sudirman, satu-satunya dalang berbahasa Madura, sempat meninggalkan dunia pewayangan. Realistis saja, dia punya anak dan istri yang harus dibiayainya. Dunia wayang tidak memberikan jaminan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.

Dia pernah menjadi penyiar radio swasta, lalu bekerja di bank daerah hingga menggagas berdirinya koperasi. Namun seiring usia bertambah, kerinduan untuk kembali kedunia perwayangan.

(Baca juga : Wayang Kulit Madura, Hidup Segan Mati Tak Mau (4))

***

Satu-satunya wayang kulit kuna (kuno) di Madura ada di Vihara Avalokitesvara, Dusun Candi, Desa Polagan, Kecamatan Galis, Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur.

Wayang yang diklaim sudah berusia 300 tahun itu tersimpan rapi dengan perawatan yang istimewa sehingga bentuk wayangnya masih utuh.

Aura wayang itu memancar ketika diperlihatkan oleh pemiliknya, Kosala Mahinda, Jumat (2/3/2018).

Dalam sebuah festival pedalangan di Yogyakarta sekitar tahun 2007, Kosala menuturkan, dia memamerkan koleksi wayang miliknya sebanyak lima set.

Empat set wayang terdiri dari 800 lembar wayang dengan tokoh yang berbeda-beda. Satu set wayang kuno milik Kosala yang paling menyedot perhatian pengunjung.

“Pernah satu waktu perwakilan Sinuhun Pakubuwana XIII Solo datang langsung ke vihara untuk melihat wayang koleksi saya. Wayang kuna (kuno) yang paling menarik dia,” ujar Kosala.

Tidak hanya keluarga keraton yang kagum, tetapi turis mancanegara juga mengaguminya. Turis asal Swiss yang berkunjung ke vihara langsung ingin membeli wayang kuno miliknya.

Namun Kosala tidak bergeming. Berapa pun harga yang ditawarkan kepadanya, Kosala menegaskan dia tetap menolaknya.

“Wayang kuna ini sudah tidak bernilai. Meskipun orang asing yang membelinya, tetap akan saya pelihara sendiri. Di keraton mana pun di Indonesia ini, belum tentu punya seperti milik saya ini,” kata pria kelahiran Surabaya ini.

Bersambung ke halaman dua

 

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com