WACANA untuk merelokasi warga Asmat terus bergulir. Hal ini terkait dengan kematian 71 anak-anak Asmat akibat penyakit campak dan gizi buruk yang terjadi pada empat bulan terakhir.
Dengan merelokasi warga secara tersentral, begitu alasan pemerintah pusat, maka pelayanan kesehatan bagi warga Asmat akan lebih mudah dan terjangkau. Sebegitu simpelkah solusinya?
Kebijakan relokasi ini diduga terkait dengan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2017 yang ditujukan kepada para Menteri, Kepala Staf Kepresidenan, serta Gubernur dan Bupati di lingkungan pemerintahan Provinsi Papua dan Papua Barat.
Inpres yang ditandatangani pada 11 Desember 2017 itu mengatur tentang percepatan pembangunan kesejahteraan di kedua provinsi paling timur itu.
Baca juga : Meski Ditolak Gubernur dan Bupati, Pemerintah Tetap Relokasi Masyarakat Asmat
Sebagaimana diketahui, sebagian besar wilayah Asmat adalah berupa perairan rawa. Masyarakat hidup terpencil di ratusan kampung yang terpencil dan terpencar.
Moda transportasi yang bisa dipakai hanya kapal/perahu, dengan biaya sewa dan bahan bakar yang mahal. Sementara itu, sarana dan prasarana kesehatan juga sangat terbatas. Oleh karena itulah muncul wacana kebijakan relokasi.
Padahal, dalam kesempatan bertemu dengan Presiden Jokowi pada 23 Januari 2018, Bupati Asmat Elisa Kambu, telah menyampaikan penolakannya atas kebijakan relokasi yang digagas pemerintah pusat, karena tidak sesuai dengan adat istiadat warga Asmat.
Berdasarkan informasi, terjadi perubahan pola hidup masyarakat, khususnya terkait dengan pola makan, dari masyarakat yang mengkonsumsi sagu menjadi pengkonsumsi makanan instan dan beras.
Selain itu adalah pola hidup yang tidak sehat, dimana masyarakat memanfaatkan air rawa dan air sungai sebagai bahan utama untuk minum, makanan, dan kebutuhan lainnya.
Padahal, sungai sudah tercemar oleh berbagai sebab diantaranya oleh limbah dan kotoran rumah tangga. Akibatnya, daya tahan warga Asmat memburuk oleh karena perubahan pola hidup dan kondisi alam sekitar yang sudah tidak sehat. Inilah akar masalah yang harus dibenahi.
Kebijakan merelokasi atau memindahkan masyarakat akan mengubah atau mengganggu kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat. Apalagi dalam konteks Papua, banyak tanah atau wilayah yang dikuasai oleh suku-suku.
Memindahkan warga dari satu suku ke wilayah suku yang lain akan berpotensi memicu konflik komunal. Masyarakat Asmat adalah masyarakat hukum adat, karena masih menerapkan pola, mekanisme dan sistem adat dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini sudah berlangsung turun temurun dan dipraktikkan secara kontinyu.
Di Papua dan Papua Barat, terdapat tujuh wilayah suku, yaitu Domberay, Bomberay, Mee Pago, Saireri, Mamta, Lapago, dan Anim Ha. Asmat masuk di dalam wilayah Suku Anim Ha.
Masyarakat Asmat hidup dalam kampung, yang terdiri atas kampung besar, sedang, dan kecil, tergantung pada jumlah penduduknya. Mereka hidup dalam suku-suku dan patuh pada kepala suku sebagai kepala pemerintahan lokal (bigman).
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.