Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Saya Hanya Keturunan Belanda, Mengapa Diusir dari Tanah Kelahiran Indonesia?"

Kompas.com - 09/02/2018, 09:10 WIB
Kontributor Magelang, Ika Fitriana,
Reni Susanti

Tim Redaksi

MAGELANG, KOMPAS.com — "Saya hanya keturunan Belanda. Tapi mengapa saya diusir dari tanah kelahiran saya Indonesia?"

Dadanya bergemuruh, hatinya pilu, emosinya memuncak ketika Yvone Sonja Ten Hoor-Heints mengingat peristiwa 76 tahun lalu ketika penjajah Belanda kalah dari Jepang pada masa perang kemerdekaan sekitar tahun 1942 silam.

Dia bersama orang-orang keturunan Eropa dikumpulkan kepala desa di sebuah pendopo di Kampung Boton, Magelang Utara, Jawa Tengah.

Mereka dihadapkan pada dua pilihan, mati atau ikut "dipulangkan" ke Eropa. Yvone dan orang-orang yang senasib itu pun terpaksa mengikuti kemauan orang-orang "pribumi", pergi ke tanah Eropa.

Yvone dan rombongan dibawa naik kereta ke Solo, lalu naik truk ke Semarang, dan diangkut kapal sampai Belanda. Berbulan-bulan, Yvone menempuh perjalanan yang memilukan.

(Baca juga: Soal Pribumi, Politik Identitas, dan Nurani Para Politisi )

Ia terus bertanya-tanya tentang kesalahan apa yang telah diperbuat, hingga orang-orang yang dia anggap saudara dan teman, begitu tega memisahkan raganya dengan tanah kelahiran, serta ibu, dan adik-adiknya.

"Saya lahir dan besar di sini. Salah saya apa? Saya cuma turunan Belanda. Mereka pisahkan saya dengan mama, adik-adik saya juga," ungkap Yvone, yang tiba-tiba tercekak menahan air mata ketika Kompas.com menemuinya di Kampung Losmenan, Kota Magelang, belum lama ini.

Yvone, wanita yang kini berusia 82 tahun itu, sampai di Belanda, tanah kelahiran sang Ayah, Karel Otto Heints.

Sejak saat itu, dia tidak bisa lagi bertemu ibu kandungnya, Murni, wanita asli Dusun Glagah, Desa Banjarnegoro, Kecamatan Mertoyudan, Kabupaten Magelang. Bukan cuma ibu, dia tidak bisa menemui dua adik perempuannya, Joyce Sylvia dan Yulia Christine.

"Mama saya itu dulu penjual hasil bumi di Glagah. Karena mama dan papa berpisah, saya ikut oma (nenek) tinggal di kawasan Boton, Kota Magelang. Sementara dua adik sama mama tinggal di Glagah," ujar Yvone, yang masih lancar berbahasa Indonesia.

Bertahun-tahun dia hanya hidup berdua dengan ayahnya, hingga menikah dan berkeluarga di kawasan Rotterndam, Belanda.

Selama itu pula, Yvone masih menyimpan kebencian amat mendalam dengan orang-orang yang mengaku "pribumi" itu. Bahkan, mengingat atau mendengar nama Indonesia saja dia enggan.

(Baca juga: Pribumi dan Politik Populisme

Kesedihan Yvone tak sampai di situ. Dia masih kerap menjumpai orang-orang yang mengolok-olok dirinya sebagai warga negara penjajah.

"Kalau ketemu orang Indonesia, masih sering ada yang mengatakan kalau kami (orang Belanda) itu penjajah. Menyiksa orang Indonesia 300 tahun. Saya sedih sekali," katanya sambil menepuk dada.

Meski menyimpan dendam, sejujurnya hati kecil Yvone sangat merindukan tanah kelahirannya itu, serta sosok ibu dan dua adiknya. Sampai suatu hari, sekitar tahun 1988, suami Yvone bertemu dengan keluarga asal Kampung Paten, Kota Magelang, di sebuah bengkel mobil di Belanda.

 

Yvone dan saudaranya ketika menemukan rumah masa kecilnya di kampung Boton, Kota Magelang, belum lama ini. KOMPAS.com/Ika Fitriana Yvone dan saudaranya ketika menemukan rumah masa kecilnya di kampung Boton, Kota Magelang, belum lama ini.

Menemukan Keluarga

Suaminya, Lucky, yang ternyata juga memilik darah Indonesia, berinisiatif untuk mempertemukan Yvone dengan keluarga tersebut. Yvone bahkan dibujuk suaminya agar mau bertemu mereka mengingat Yvone masih menyimpan kebencian.

"Saya dirayu, dibujuk, oleh suami saya, untuk bertemu mereka. Saya juga dipaksa supaya mau ke Indonesia (Kota Magelang) mencari rumah masa kecil saya, mama, dan adik-adik, dengan pertolongan keluarga itu. Saya masih dendam saat itu, tapi akhirnya saya luluh.... Saya rindu rumah saya," ungkap Yvone.

Masih di tahun 1988, Yvone menguatkan diri terbang ke Indonesia menuju Kota Magelang. Dia dibantu keluarga asal Kampung Paten mencari hingga dipertemukan dengan salah satu adiknya, Yulia Christine, di Kampung Losmenan, Kota Magelang.

"Waktu bertemu (adik) serasa tidak percaya, dia ternyata masih ingat saya," ucapnya.

Sakit hati Yvone perlahan pulih. Dia seolah mempunyai harapan hidup baru dengan keluarga yang bertahun-tahun tidak bertemu. Dia pun menerima takdir bahwa ibu dan salah satu adiknya telah tiada. Begitu juga ayahnya yang meninggal di Belanda tahun 1977.

Yvone juga semakin sering berkunjung ke rumah adiknya itu, yakni pada tahun 1989, 1990, 1991, 1992, 1995, 1998, dan Desember 2017-Januari 2018.

Yvone saat tiba di rumah masa kecilnya di Kampung Boton Kota Magelang, belum lama ini. KOMPAS.com/Ika Fitriana Yvone saat tiba di rumah masa kecilnya di Kampung Boton Kota Magelang, belum lama ini.

Rumah Masa Kecil

 

Pada Desember 2017 lalu, Yvone baru berkeinginan mencari rumah tempat tinggalnya dahulu, di Jalan Boton 2, Kota Magelang. Dia dibantu seorang pencinta sejarah Kota Magelang, Bagus Priyana, yang ternyata juga tinggal di kawasan tersebut.

"Berhari-hari saya berjalan ditemani Bagus, menyusuri gang-gang kampung. Semuanya sudah berubah, banyak bangunan baru, jalan-jalan sudah berbeda. Kami bertanya-tanya sama orang sampai kami akhirnya menemukan rumah itu," kisahnya.

Kenangan masa kecilnya terus menari-menari di otaknya ketika Yvone menemukan rumahnya yang kini sudah dimiliki orang lain. Dia masih ingat, tangga kecil di dekat rumah itu terdapat banyak tanaman bunga, pohon jeruk nipis, dan sebagainya.

"Saya nangis, saya kayak orang gila! ingat waktu kecil di rumah itu saya sama Oma. Dulu masih terbuat dari gedek (anyaman bambu), ada pohon jeruk nipis, banyak tanaman di situ. Lalu ada sungai kecil, ada tangga, masih kelihatan sedikit," ceritanya.

Jika boleh memilih, Yvone ingin menghabiskan sisa hidupnya di Kota Magelang. Dia merasa kampung inilah rumahnya sebenarnya. Dia bahagia berada di lingkungan, dengan makanan dan serta aktivitas yang sederhana.

"Maunya saya habiskan masa tua di sini saja, hidup apa adanya, sederhana. Tapi enggak boleh sama anak dan cucu-cucu yang di Belanda," paparnya.

Bagus Priyana, pencinta sejarah Kota Magelang, menuturkan, kisah Yvone sangat menarik perhatiannya sampai dirinya bersedia membantu mencari rumah masa kecil Yvone.

Menurut Bagus, Yvone adalah saksi hidup sejarah perang kemerdekaan Indonesia, khususnya di Kota Magelang.

"Oma Yvone ini kisahnya sangat menarik, bagaimana beliau diusir dari tanah kelahirannya, terpisah dengan keluarga sampai dipertemukan lagi puluhan tahun kemudian dengan keluarganya," tutur Bagus.

Bagus pun merasa bangga sekaligus terharu bisa membantu wanita lanjut usia itu menemukan rumah masa kecilnya.

Kota Magelang memang menyimpan sejarah ketika Belanda menduduki Indonesia. Terbukti masih banyak ditemukan jejak-jejak kolonial tersebar di kota ini, seperti rumah-rumah Belanda, bangunan irigasi, sekolah, makam, hingga bangunan penampung air raksasa, water torn, yang kini masih berfungsi dan menjadi ikon Kota Magelang. 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Pj Gubri Ajak Pemkab Bengkalis Kolaborasi Bangun Jembatan Sungai Pakning-Bengkalis

Pj Gubri Ajak Pemkab Bengkalis Kolaborasi Bangun Jembatan Sungai Pakning-Bengkalis

Regional
Diskominfo Kota Tangerang Raih Penghargaan Perangkat Daerah Paling Inovatif se-Provinsi Banten

Diskominfo Kota Tangerang Raih Penghargaan Perangkat Daerah Paling Inovatif se-Provinsi Banten

Regional
Fakta dan Kronologi Bentrokan Warga 2 Desa di Lombok Tengah, 1 Orang Tewas

Fakta dan Kronologi Bentrokan Warga 2 Desa di Lombok Tengah, 1 Orang Tewas

Regional
Komunikasi Politik 'Anti-Mainstream' Komeng yang Uhuyy!

Komunikasi Politik "Anti-Mainstream" Komeng yang Uhuyy!

Regional
Membedah Strategi Komunikasi Multimodal ala Komeng

Membedah Strategi Komunikasi Multimodal ala Komeng

Regional
Kisah Ibu dan Bayinya Terjebak Banjir Bandang Berjam-jam di Demak

Kisah Ibu dan Bayinya Terjebak Banjir Bandang Berjam-jam di Demak

Regional
Warga Kendal Tewas Tertimbun Longsor Saat di Kamar Mandi, Keluarga Sempat Teriaki Korban

Warga Kendal Tewas Tertimbun Longsor Saat di Kamar Mandi, Keluarga Sempat Teriaki Korban

Regional
Balikpapan Catat 317 Kasus HIV Sepanjang 2023

Balikpapan Catat 317 Kasus HIV Sepanjang 2023

Regional
Kasus Kematian akibat DBD di Balikpapan Turun, Vaksinasi Tembus 60 Persen

Kasus Kematian akibat DBD di Balikpapan Turun, Vaksinasi Tembus 60 Persen

Regional
Puan: Seperti Bung Karno, PDI-P Selalu Berjuang Sejahterakan Wong Cilik

Puan: Seperti Bung Karno, PDI-P Selalu Berjuang Sejahterakan Wong Cilik

Regional
Setelah 25 Tahun Konflik Maluku

Setelah 25 Tahun Konflik Maluku

Regional
BMKG: Sumber Gempa Sumedang Belum Teridentifikasi, Warga di Lereng Bukit Diimbau Waspada Longsor

BMKG: Sumber Gempa Sumedang Belum Teridentifikasi, Warga di Lereng Bukit Diimbau Waspada Longsor

Regional
Gempa Sumedang, 53 Rumah Rusak dan 3 Korban Luka Ringan

Gempa Sumedang, 53 Rumah Rusak dan 3 Korban Luka Ringan

Regional
Malam Tahun Baru 2024, Jokowi Jajan Telur Gulung di 'Night Market Ngarsopuro'

Malam Tahun Baru 2024, Jokowi Jajan Telur Gulung di "Night Market Ngarsopuro"

Regional
Sekolah di Malaysia, Pelajar di Perbatasan Indonesia Berangkat Sebelum Matahari Terbit Tiap Hari

Sekolah di Malaysia, Pelajar di Perbatasan Indonesia Berangkat Sebelum Matahari Terbit Tiap Hari

Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com