Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Kakek 68 Tahun Bertahan Hidup Sebatang Kara di Gubuk yang Sudah Miring

Kompas.com - 29/01/2018, 07:30 WIB
Junaedi

Penulis

POLEWALI MANDAR, KOMPAS.com – Borahima (68), kakek yang hidup sebatang kara di Dusun Garassi, Desa Nepo, Kecamatan Wonomulyo Polewali Mandar, Sulawesi Barat, mengumpulkan dengan tekun pelepah kelapa yang jatuh di kebun milik warga lain.

Pelepah demi pelepah dikumpulkannya dipakainya untuk memperbaiki sedikit demi sedikit gubuk reyot seluas 4 meter persegi yang menjadi tempat berteduhnya hingga kini.

Untuk bisa masuk ke dalam gubuk setinggi tak sampai 2 meter ini, tamu harus membungkukkan badan sambil menahan nafas sebelum sampai di dalam.

Di gubuk tua dari tumpukan pelepah kelapa beratapkan potongan seng bekas inilah Borahima menjalani hidup seorang diri.

Istrinya telah meninggal sejak belasan tahun lalu, sementara anak tunggalnya juga sudah menikah dan memilih hidup bersama keluarganya di tempat lain.

Agar gubuknya tak bocor dan kemasukan air saat hujan turun, hampir setiap hari Borahima meluangkan waktunya untuk menambal atap dan dinding rumahnya dengan plastik bekas atau potongan seng bekas yang tidak beraturan.

Maklum tumpukan pelepah kelapa kering dan bahan bangunan bekas lainnya yang dia mafaatkan bahkan sudah mulai lapuk dimakan usia.

Kakek Borahima menyulap tumpukan pelepah kepala jadi gubuknya. Sudah belasna tahun hidup sebatangkara di Dusun Garassi, Desa Nepo, Kecamatan Wonomulyo Polewlai Mandar, Sulawesi Barat. Untuk bertahan hiduip Borahima mencari kelapa yang jatuh di kebun warga untuk dijual dna ditukar beras.KOMPAS.Com Kakek Borahima menyulap tumpukan pelepah kepala jadi gubuknya. Sudah belasna tahun hidup sebatangkara di Dusun Garassi, Desa Nepo, Kecamatan Wonomulyo Polewlai Mandar, Sulawesi Barat. Untuk bertahan hiduip Borahima mencari kelapa yang jatuh di kebun warga untuk dijual dna ditukar beras.
Gubuk Borahima yang dibangun sejak belasan tahun lalu di atas lahan milik orang lain ini tampak sudah condong dan beberapa bagian atap dan dindingnya sudha mulai bocor.

Tak ada fasilitas mewah di dalamnya hanya ada beberapa piring, panci tua dna sejumlah botol plastik. Beberapa lembar pakaian Borahim tampak bergelantungan di dinting dan atap rumahnya.

(Baca juga:Lumpuh dan Buta, Kakek Ini Bertahan Hidup di Gubuk 1 Meter x 2 Meter)

Untuk bisa bertahan hidup, Borahima memungut buah kelapa yang jatuh di kebun warga atau di pantai. Dalam sepekan, dia kerap mendapatkan 10 buah kelapa kering yang kemudian dijual seharga Rp 5.000 atau Rp 500/buah.

Hasil penjualan kelapa itulah yang kerap dikumpulkan Borahima untuk membeli sembako, termasuk beras atau makanan untuk menyambung hidup di gubuknya.

“Saya biasa cari kelapa yang jatuh di pinggir pantai atau di kebun warga. Seminggu biasa saya dapat Rp 5.000,” ungkap Borahima

Jika kehabisan beras dan usahanya mencari buah kelapa yang jatuh di kebun warga tak membuahkan hasil, Borahima terpaksa kerap puasa panjang tanpa tahu pasti waktu berbuka.

Borahima bercerita, saat usianya masih produktif, dia pernah menjadi seorang nelayan. Namun karena seiring kekuatannya sudah pudar dan sering sakit-sakitan, dia hanya mengandalkan buah kelapa yang jatuh di kebun milik warga untuk ditukar dengan beras.

Lelah, letih dan juga kerap sakit-sakitan karena faktor usia lanjut sudah pasti. Namun Borahima yang menyadari kondisi hidupnya yang jauh dari hidup layak dan tak punya banyak sanak famili tak ingin berkeluh kesah kepada siapa pun.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com