Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kerukunan di Desa Keberagaman, Tempat Ibadah Berdekatan dan Pernikahan Beda Agama Sudah Biasa

Kompas.com - 14/01/2018, 14:33 WIB
Andi Hartik

Penulis

MALANG, KOMPAS.com – Terdiri dari berbagai pemeluk agama tidak membuat warga di Desa Wirotaman, Kecamatan Ampelgading, Kabupaten Malang, menjadi sumber perselisihan.

Warga di desa itu tetap rukun dan menjaga sikap toleransi yang sudah terpelihara selama bertahun-tahun.

Desa Wirotaman tampak cerah, Sabtu (13/1/2017) sekitar pukul 9.00 WIB. Jalanan lengang. Sejumlah warga terlihat menjalankan aktivitasnya sebagai seorang petani. Sesekali, mereka mengangkut hasil taninya dengan kendaraan sepeda motor.

Di balai desa, sejumlah orang terlihat asyik bercengkrama. Di antara mereka ada M Repan Efendi, Suwardi dan Hari Cahyono Adi. Mereka adalah tokoh agama di desa tersebut. Masing-masing dari mereka adalah tokoh Agama Islam, Hindu dan Kristen. Tidak ada sekat, mereka mengobrol tanpa memandang agama masing-masing. Sesekali mereka tertawa dengan obrolannya sendiri. Sikap yang akrab tercermin di antara mereka.

Sementara itu, tidak jauh dari balai desa, berdiri bangunan Masjid Baitut Taqwa yang didirikan sekitar tahun 1970-an. Masjid itu merupakan tempat warga pemeluk Agama Islam beribadah.

Tidak jauh setelahnya, sekitar 100 meter dari masjid tersebut, terdapat Pura Siwa Lingga yang berada di atas perbukitan. Pura itu biasa digunakan oleh warga pemeluk Agama Hindu untuk menjalankan ibadahnya.

Kemudian, sekitar 50 meter dari Pura itu, berdiri bangunan Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW), tempat umat kristiani di desa itu menjalankan ibadahnya.

Baca juga : Melihat Toleransi Beragama di Kota Syariat Islam...

Total, ada 11 tempat ibadah utama di desa tersebut. Terdiri dari lima masjid, tiga pura dan tiga gereja. Yaitu Masjid Baitut Taqwa, Masjid An Nur Al Huda, Masjid Al Ikhlas, Masjid Nurul Huda dan Masjid Miftahul Jannah.

Sementara untuk pura ada Pura Siwa Lingga, Pura Tri Hitakarana dan Pura Brahma Loka. Sedangan untuk gereja ada Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) sebanyak dua unit dan Gereja Sidang Jamaat Allah.

Ya, Desa Wirotaman merupakan desa dengan penduduka yang beragam. Desa yang ada di pedalaman Kabupaten Malang, tepatnya di Kecamatan Ampelgading, sebuah kecamatan yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Lumajang itu terdiri dari berbagai pemeluk agama.


Berdasarkan cacatan pemerintah desa setempat, pemeluk Agama Islam di desa itu sebanyak 3.183 orang, terdiri dari laki-laki sebanyak 1.612 orang dan perempuan 1.571 orang.

Sementara pemeluk Agama Kristen sebanyak 659 orang, terdiri dari laki-laki sebanyak 324 orang dan perempuan 335 orang. Sedangkan pemeluk Agama Hindu berjumlah 298 orang, terdiri dari laki-laki 144 orang dan perempuan 154 orang.

Sedangkan umat Katolik hanya berjumlah empat orang. Tiga orang laki-laki dan satu orang perempuan. Total, jumlah warga di desa itu sebanyak 4.144 orang.

Tidak sulit menemukan desa yang sudah ditetapkan sebagai desa keberagaman itu. Hanya saja, kondisi geografis yang berada daerah perbatasan membuat jarak tempuh dari pusat Kota Malang cukup jauh. Yaitu sekitar 59 kilometer ke arah perbatasan Kabupaten Malang dan Kabupaten Lumajang dengan waktu tempuh sekitar 2 jam.

Silaturahmi dan kebersamaan

Meski terdiri dari berbagai pemeluk agama, hampir tidak terdengar ada perselisihan antar-warga di desa seluas 744,5 hektar tersebut. Kerukunan tetap terjaga. Saling menghargai antar-pemeluk agama sudah mendarah daging di dalam kehidupan warga.

Pura Siwa Lingga dengan latar belakang Masjid Baitut Taqwan yang ada di Desa Wirotaman, Kecamatan Ampelgading, Kabupaten Malang, Sabtu (13/1/2018). Desa yang ada di pelosok perbatasan Kabupaten Malang dan Kabupaten Lumajang itu memiliki warga pemeluk beragam agama seperti Islam, Hindu, Kristen dan Katolik.KOMPAS.com/Andi Hartik Pura Siwa Lingga dengan latar belakang Masjid Baitut Taqwan yang ada di Desa Wirotaman, Kecamatan Ampelgading, Kabupaten Malang, Sabtu (13/1/2018). Desa yang ada di pelosok perbatasan Kabupaten Malang dan Kabupaten Lumajang itu memiliki warga pemeluk beragam agama seperti Islam, Hindu, Kristen dan Katolik.

Kepala Desa Wirotaman, Ahmad Soleh mengatakan, ada tradisi yang membuat kerukunan dalam beragama itu tetap terjaga, yaitu silaturahmi. Setiap ada hari besar keagamaan, pemeluk agama yang lain datang ke rumah tetangganya yang sedang merayakan hari besar keagamaan untuk mengucapkan selamat.

“Kalau Idul Fitri, umat yang non-muslim ikut keluar rumah, mereka bersilaturahmi. Kalau Natal, kayak kemarin, pemeluk agama yang lain keluar ikut mengamankan jalannya Natal dan bersilaturahmi. Begitu juga kalau Nyepi,” katanya.

“Diawali dari itu, akhirnya kerukunan jalan dan tidak ada konflik. Jadi jalinan silaturahmi yang paling menonjol,” imbuhnya.

Tradisi saling bersilaturahmi atau biasa di sebut anjangsana itu sudah terjalin selama bertahun-tahun dan tetap terjaga hingga saat ini.

Baca juga : Pesan Toleransi Antar-umat Beragama dalam Perayaan Idul Adha...

Tidak hanya itu, di dalam kehidupan sosial, warga di desa tersebut selalu mengedepankan asas kebersamaan dan gotong-royong, antar-pemeluk agama sekalipun. Jika ada satu warga yang membutuhkan pertolongan, mereka dengan sukarela menolong tanpa memandang latar belakang agamanya. Bagi mereka, menolong adalah sebuah kewajiban bagi yang membutuhkan.

“Kalau mau menolong masih melihat agamanya, ya tidak jadi menolong,” kata Suwardi, salah satu tokoh Agama Hindu.

Hal yang sama disampaikan oleh Hari Cahyono Adi, seorang tokoh Agama Kristen. Dikatakannya, jika ada salah satu pemeluk agama tertentu membangun tempat ibadah, pemeluk agama yang lain ikut membantu.

“Misalnya ketika ada pembangunan mushala, kami yang non-muslim ikut membantu,” jelasnya.

M Repan Efendi, salah satu tokoh Agama Islam di desa itu mengatakan, kehidupan sosial antar pemeluk agama di desa itu sudah terjalin dengan kokoh. Setiap ada hajatan desa, seperti bersih desa, selalu diikuti dengan doa dari tiga agama tersebut.

“Masyarakat sini sudah terbiasa saling kerja sama dalam segala hal, terutama dalam bidang sosial kemasyarakatan,” ungkapnya.


Lebih dari itu, antar-pemeluk agama di desa itu saling mengingatkan untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya masing-masing. Misalkan, ada pemeluk Agama Islam yang lupa untuk shalat Jumat dan masih mendapati mereka di sawah, pemeluk agama lain yang mengetahuinya akan mengingatkannya.

Begitu juga sebaliknya, dengan pemeluk Agama Kristen dan Hindu. Jika di antara mereka ada yang lupa untuk menjalankan ibadahnya, umat lain yang mengetahuinya akan mengingatkannya.

Kedepankan musyawarah

Berada di pelosok tidak membuat warga di Desa Wirotaman terisolasi dari informasi yang datang dari luar. Tidak terkecuali informasi tentang konflik antar-agama yang kerap terjadi di sejumlah daerah. Seperti pembakaran tempat ibadah dan aksi kekerasan lainnya yang bermotif agama.

Warga di desa itu mengaku mengetahui semua kejadian itu. Mereka lalu membahas konflik yang terjadi di luar itu dan berupaya untuk mencegahnya supaya tidak terjadi di desa tersebut.

“Kami tahu. Tapi itu terjadi di sana, jangan sampai terjadi di sini,” kata Ahmad Soleh.

Sejumlah tokoh agama Islam, Hindu dan Kristen saat berfoto bersama di Pura Siwa Lingga di Desa Wirotaman, Kecamatan Ampelgading, Kabupaten Malang, Sabtu (13/1/2018). Desa yang ada di pelosok perbatasan Kabupaten Malang dan Kabupaten Lumajang itu memiliki warga pemeluk beragam agama seperti Islam, Hindu, Kristen dan Katolik.KOMPAS.com/Andi Hartik Sejumlah tokoh agama Islam, Hindu dan Kristen saat berfoto bersama di Pura Siwa Lingga di Desa Wirotaman, Kecamatan Ampelgading, Kabupaten Malang, Sabtu (13/1/2018). Desa yang ada di pelosok perbatasan Kabupaten Malang dan Kabupaten Lumajang itu memiliki warga pemeluk beragam agama seperti Islam, Hindu, Kristen dan Katolik.

Begitu juga dengan yang disampaikan oleh Suwardi. Ia mengatakan, para tokoh agama selalu membahas segala informasi konflik yang masuk. Setelah itu, para tokoh agama di desa itu bermusyawarah agar konflik serupa tidak menjangkiti desa tersebut.

“Kalau ada sesuatu, semua tokoh agama berkumpul. Biasanya hal seperti itu dikembalikan ke intern (masing – masing agama). Kita (masing – masing tokoh agama) menyampaikan kepada umatnya supaya jangan ikut-ikut. Dalam ajaran Hindu, aku sama dengan kamu. Jangan memandang dari agamanya,” jelasnya.

Baca juga : Memelihara Toleransi di Pulau Bukide...

Dengan cara seperti itu, kerukunan di desa itu tetap terjaga dan konflik antar-agama yang kerap terjadi di sejumlah daerah tidak pernah merembet ke desa tersebut.

Pernikahan beda agama

Sebenarnya, ada potensi perselisihan yang bisa saja terjadi di desa tersebut. Yakni soal pernikahan. Kehidupan sosial yang berbaur tanpa memadang agama tidak jarang membuat kisah asmara antar-pemeluk agama terjadi.

Di sisi lain, aturan yang ada di Indonesia belum memperbolehkan terjadinya pernikahan dua pemeluk agama yang berbeda.

Untuk itu, para tokoh agama di desa itu sudah sepakat memasrahkan sepenuhnya kepada kedua mempelai. Keduanya diminta berembuk untuk menentukan agama yang akan dianutnya kelak setelah menjadi satu keluarga. Apakah istrinya yang akan ikut suaminya dan memeluk agama yang dianut suaminya, atau sebaliknya.

Pemandangan seperti itu sudah lumrah terjadi di desa tersebut. Namun, setiap warga yang ingin berpindah agama harus menulis surat pernyataan dengan diketahui oleh tokoh agama masing-masing.

“Para tokoh ini kan juga membina. Sesuai dengan Undang-undang Dasar, setiap warga punya hak untuk memilih keyakinan masing-masing. Tapi harus membuat surat pernyataan dari diri sendiri bahwa akan menikah dan pindah agama dengan diketahui oleh tokoh agama,” jelas Hari Cahyono Adi.

Rukun sampai mati

Kerukunan beragama di Desa Wirotaman tidak hanya tercermin dari kehidupan sosial. Saat meninggal, mereka pun tetap menunjukkan kerukunannya.

Tidak ada pemisahan makam di desa itu. Setiap orang yang meninggal akan dimakamkan di kompleks yang sama. Entah itu Kristen, Islam, Hindu ataupun Katolik. Semua warga sudah bersepakat untuk tidak membeda-bedakan tempat peristirahatan terakhirnya.

Begitu juga dengan arah makam tersebut. Semua warga bersepakat untuk mengarahkan makamnya ke arah utara. Mengikuti ajaran yang ada dalam agama Islam supaya makam tersebut tertata.

Termasuk bagi umat Hindu yang harusnya menghadapkan makamnya ke timur, mereka ikut menghadapkan kuburannya ke utara. Kendati demikian, nisan yang dibubuhkan di atas makam itu disesuaikan dengan agama yang dipeluk oleh orang yang meninggal.

Warga di Desa Wirotaman terus berupaya untuk melestarikan kerukunan antar-pemeluk agama. Generasi muda adalah poin utama untuk manjaga kerukunan itu supaya tetap lestari.

Saat ini, masing-masing para tokoh agama di desa itu sudah membekali para generasi muda dengan pengetahuan kerukunan dalam beragama. Saling menghormati dan mencegah terjadi konflik.

“Menjaga memang lebih berat. Kita harus memberikan pencerahan kepada anak-anak kita. Diajarkan peduli, membantu dan saling menolong,” ungkap Hari.

Kompas TV Potret kehangatan dan toleransi antarumat beragama terlihat di sejumlah daerah.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com