Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Anjani Sekar Arum, Melindungi Anak-anak dengan Batik Bantengan

Kompas.com - 31/12/2017, 10:33 WIB
Reni Susanti

Penulis

KOMPAS.com - Selembar kain bermotif bantengan terbentang di atas meja setinggi pinggang orang dewasa di Sanggar Batik Tulis Andhaka, Batu, Jawa Timur. Batik tersebut dikelilingi tiga siswi SD dan seorang perempuan bernama Anjani Sekar Arum (26 tahun).

Di bawah bimbingan Anjani, ketiga anak ini menggoreskan kuas untuk mewarnai batik. Selama mewarnai, mereka sesekali terlihat bersenda gurau atau mengobrol tentang batik yang tengah dibuatnya.

Tak berapa lama, kaki Anjani melangkah ke gazebo kecil yang berjarak sekitar dua meter dari meja tadi. Ia lalu memperhatikan sejumlah anak yang tengah duduk bersila dengan kain batik di atas kaki dan canting di tangan kanannya.

Dengan telaten, mereka memasukkan canting ke dalam malam. Kemudian menggoreskannya di atas kain membentuk motif batik yang mereka inginkan. Sambil menggoda anak didiknya, Anjani mengarahkan cara mencanting.

(Baca juga : Ingin Membawa Batik Mendunia)

Ia pun duduk di antara anak-anak tersebut, mengambil kain, dan menggoreskan canting membuat motif banteng di kainnya. Sekitar dua jam berlalu, Anjani memanggil seluruh anak didiknya berkumpul.

“Ada kabar bagus. Batik yang kalian buat disukai orang Taiwan, laku terjual. Saya mau bagikan uangnya (hasil jualan) sekarang. Dan tahun depan, kita diundang untuk ke sana (Taiwan),” ucap Anjani, awal Desember 2017.

Kebahagiaan terpancar dari wajah anak-anak tersebut. Mereka tersenyum dan berbincang dengan rekan-rekannya yang lain. Mereka tidak pernah membayangkan pergi naik pesawat dan tinggal di Taiwan beberapa pekan untuk mengajarkan anak-anak di sana membatik.

Sama halnya dengan batik yang dibuat Anjani, batik karya anak-anak ini sudah tembus ke beberapa negara di Asia dan Eropa. Keuntungan yang diperoleh terbilang besar. Karena batik tulis merupakan karya seni yang tidak ternilai harganya.

Pemilik Anjani Batik Galeri, Anjani Sekar Arum.KOMPAS.com/Reni Susanti Pemilik Anjani Batik Galeri, Anjani Sekar Arum.
Otodidak

Keberhasilan Anjani di dunia batik tidak diperolehnya dengan mudah. Ia melalui jalan berliku untuk ada di posisinya saat ini.

Anjani memutuskan untuk menekuni batik saat masuk jurusan Seni dan Desain, Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang (UNM). Berbeda dengan sang ayah dan pamannya yang seorang pelukis, ia memilih kriya sebagai fokus pendidikannya.

“Di kriya banyak macamnya, ada keramik dan lainnya. Saya ngambil batik. Padahal di sana ga ada yang berani ambil batik karena tidak ada dosennya. Tapi yang namanya belajar tidak harus dari dosen,” tutur perempuan kelahiran Batu, 12 April 1991 ini menjelaskan.

Untuk mendapatkan ilmu batik, Anjani pergi belajar ke Yogyakarta dan Solo. Bahkan ia merogoh kocek Rp 6 juta untuk belajar teknik pewarnaan.

“Ada resep pewarnaan remasol dan napthol. Uang Rp 6 juta untuk satu resep pewarnaan saja dan saya hanya ikut satu karena mahal. Tapi saat belajar, saya ngintipin resep pewarnaan yang lain dan hapalin semua,” ungkapnya.

Begitu keluar ruangan, Anjani mencatat dan mempraktekannya di rumah. Percobaannya beberapa kali gagal dan mengorbankan lumayan banyak kain.

(Baca juga : Menengok Perjalanan Batik Danar Hadi di Solo)

Saat itu ia belum memiliki sanggar. Semua dikerjakan di rumahnya, di Kelurahan Ngaglik, Kecamatan Batu, Kota Batu, Jawa Timur.

“Pewarna batik itu kan lumayan bisa nempel di lantai. Jadi beres mewarnai, saya gosok (lantai dan bak kamar mandi). Besoknya warnai lagi, gosok lagi. Lumayan capek. Waktu itu saya bermimpi kapan punya sanggar batik,” ucap guru di SMPN 1 Batu ini menjelaskan.

Akhirnya ia berhasil dan bisa membuat batik, hingga membuat dosennya kaget. “Dosenku kaget saya bisa membatik. Hingga semester akhir saya mantap untuk mengangkat batik bantengan sebagai skripsiku. Tapi sesuatu terjadi,” katanya.

Saat itu, calon mertuanya sakit parah dan ingin melihat anaknya menikah dengan Anjani. Ia menyetujui pernikahan tersebut. Anjani menikah dengan Netra Amin Atmadi di depan jenazah sang mertua. Sebulan kemudian, Anjani hamil.

“Sempat stres aku. Lagi skripsi, tiba-tiba harus menikah, hamil, dan melahirkan. Saat itu penghasilan hanya dari suamiku, guru honorer di yayasan. Gajinya hanya Rp 1 juta per bulan. Gak cukup untuk biaya sehari-hari dan susu anakku. Kadang pengen nangis,” katanya.

Namun ia tidak ingin menyerah. Ia selesaikan skripsi bahkan menolak tawaran beasiswa S2 dan menjadi dosen. Ia memilih mengejar nazarnya (janjinya), menggelar pameran tunggal batik setelah lulus kuliah.

Ia terus membatik hingga lupa waktu. Sesekali ia dibantu ibu angkatnya, Lina Santoso. Ibunya ini pulalah yang meminta Anjani membuat merek sendiri, hingga tercipta “Anjani Batik Galeri”.

Di usia anaknya, Anandhaka Abyasa Gondokusumo, 6 bulan, Anjani berhasil mengumpulkan 48 karya. Ia lalu menggelar pameran tunggal yang dibuka Ketua Dekranasda sekaligus istri wali kota saat itu, Dewanti Rumpoko.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com