Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perhutani Bantah Kriminalisasi Tokoh Agama yang Masuk Bui karena Bela Petani

Kompas.com - 24/11/2017, 21:51 WIB
Kontributor Semarang, Nazar Nurdin

Penulis

SEMARANG, KOMPAS.com – Perum Perhutani Unit Regional Jawa Tengah membantah telah melakukan “kriminalisasi” terhadap petani yang menggarap lahan di Surokonto Wetan, Kecamatan Pageruyung, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah.

Menurut Perhutani, hukuman selama 8 tahun yang dijatuhkan Mahkamah Agung terhadap tiga petani penggarap lahan itu murni karena mereka terbukti melakukan penghasutan untuk menyerobot lahan milik Perhutani. Tiga penggarap itu yaitu Nur Azis, Sutrisno, dan Mujiono. Nur Azis adalah tokoh agama setempat.

“Sejak 2001, kami itu punya program bersama masyarakat, jadi tidak benar kami mengusir, menolak masyarakat. Jadi, silakan saja (menanam), jangan khawatir jenis apa yang mau ditanam,” kata Kepala Departemen Perencanaan SDH, Pengembangan Bisnis dan Pemasaran Perhutani Regional Jawa Tengah Mohamad Widianto, Jumat (24/11/2017).

Mohamad Widianto mengatakan, sejumlah warga, termasuk tiga petani yang dihukum itu sebelumnya menggarap lahan milik PT Sumurpitu, di Desa Surokonto Wetan. Penggarapan lahan itu, sambung dia, telah seizin pabrik pemegang hak guna usaha itu.

Baca juga : Sang Kiai Masuk Bui karena Bela Petani, Santri Nusantara Galang Koin Peduli

Namun pada 2012, lahan hak guna usaha seluas 127,821 hektare milik perusahaan itu dibeli PT Semen Indonesia untuk dijadikan lahan pengganti dari kawasan hutan di RPH Timbrangan BKPH Kebon KPH Mantingan seluas 56,850 Ha di Kabupaten Rembang yang dipinjam untuk pendirian pabrik semen.

Lahan pengganti di Surokonto Wetan itu kemudian diserahterimakan ke Perhutani untuk dikelola. Dalam proses pindah kepemilikan ini, masalah kemudian muncul ketika petani menolak kehadiran dari pihak Perhutani.

Perhutani sendiri hendak masuk ke kawasan hutan, karena dalam prosesnya lahan pengganti itu telah diproses menjadi kawasan hutan produksi pada hutan Kalibodri sebagaimana keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.3021/Menhut/JUH/2014. Proses mengubah kawasan hutan dilakukan sejak 2012.

“Ketika kami diberi tugas pengelolaan kawasan hutan, otomatis melakukan kegiatan bersama. Tapi faktanya terjadi penolakan kawasan itu. Ada sebagian masyarakat misalnya Nur Azis, Mujiono selalu memprovokasi dan menolak kawasan itu dikelola Perhutani,” kata dia.

Padahal, kata dia, Perhutani tetap mempersilahkan petani menggarap lahan yang sebelumnya digarap. Hanya saja, petani diminta untuk ikut menghijaukan kawasan itu agar ada pepohonanya.

“Saya persilahkan apa saja, pohon, daun pendek, akasia atau sengon boleh, randu, karet boleh. Asal sesuai keinginan masyarakat dan itu produktif,” kata dia.

Sebagai kawasan hutan, tegas dia, harus ada pohon yang hidup. Kawasan hutan Surokonto Wetan tidak boleh lagi ditanami palawija secara penuh seperti dulu. Perhutani ingin agar hal itu juga dipahami para petani penggarap.

“Kalau sudah menjadi kawasan hutan, ditanam full jagung tidak bisa. Selama lama ini warga garap lahan full palawija, kalau kita tidak bisa. Harus ada tanaman pohon. Kalau enggak ada pohon gak bisa disebut tanaman hutan,” kata dia.

Namun demikian, para petani terus melancarkan protes. Proses mediasi, sambung dia, dilakukan namun belum tercapai kesepakatan.

“Karena ada kengototan, kami sebagai pengelola, karena kejadian terus menerus, dan tidak bisa ditolerir, pada 26 Januari 2016, saudara Rovi Tri Kuncoro (Wakil Kepala Administrasi) melaporkan tiga orang ke Polres Kendal. Setelah itu mulai ke ranah hukum, karena mediasi lama tidak pernah selesai,” tambahnya.

Oleh karenanya, pihaknya ingin agar ke depan ada kesepahaman dengan petani penggarap. Para petani, kata dia, tetap diperbolehkan menggarap lahan yang dikelola BUMN milik Kementerian Kehutanan ini.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com