BrandzView
Konten ini merupakan kerja sama Kompas.com dengan Mahkamah Agung

Hakim Ini Tugas Keliling Indonesia sejak Usia 25 Tahun...

Kompas.com - 17/11/2017, 20:26 WIB
Sigiranus Marutho Bere

Penulis

Sumber kompas.com

KUPANG, KOMPAS.com  - Namanya Mohammad Fadjarisman. Dengan berkemeja batik, ia keluar dari rumah dinasnya untuk berjalan kaki menuju tempat kerjanya.

Seperti inilah Fadjarisman sehari-hari, termasuk ketika pada Jumat (27/10/2017) pagi itu ditemui Kompas.com saat menuju kantornya yang hanya berjarak 100 meter dari rumah dinasnya.

Tampilannya bersahaja. Siapa sangka, Fadjarisman adalah seorang hakim. Lebih tepatnya, ia adalah Ketua Pengadilan Negeri Kelas 1 B Atambua di Nusa Tenggara Timur.

"Di sini (Atambua) paling banyak kasus penganiayaan dan KDRT (kekerasan dalam rumah tangga)," kata Fadjarisman yang mulai menjabat ketua pengadilan di Atambua ini sejak April 2017 lalu.

Kasus lain yang juga ia tangani di tempat yang berbatasan langsung dengan Negara Timor Leste itu adalah penggelapan uang oleh sales sebuah perusahaan.

“Saya tidak ambil banyak sidang, paling hanya satu dua kali saja. Saya memberikan kesempatan kepada hakim lain untuk menambah jam terbang mereka,” tambahnya.

Meski begitu, setiap hari ia tetap ke kantor. Aktivitasnya dimulai pukul 04.00 Wita subuh, dengan berolahraga ringan sambil menghirup udara pagi, kemudian shalat, sampai akhirnya berangkat jalan kaki ke kantor tepat pukul 07.30 Wita.

Hari itu, Jumat (27/10/2017), tak ada aktivitas sidang yang ia lakoni sehingga ia bersama stafnya berolahraga, senam bersama, bersih-bersih di kantor, dan memperbaiki sejumlah fasilitas kantor yang rusak. Fadjarisman pun terlihat cair dengan para stafnya.

Diprotes anak

Sejak bertugas sebagai Ketua Pengadilan Negeri Kelas 1 B Atambua April 2017, Fadjarisman hanya tinggal sendirian di rumah dinasnya. Istri dan empat anaknya tinggal di Malang, Jawa Timur.

Jauh dari istri dan empat buah hatinya diakui Fadjarisman membuatnya sedih. Terakhir ini, sudah dua bulan pria kelahiran Sumenep, Madura, 28 Desember 1967, itu tidak bertemu dengan keluarganya.

Mohammad Fadjarisman di meja kerjanya sebagai Ketua Pengadilan Negeri Kelas 1 B Atambua di Nusa Tenggara Timur. MA Mohammad Fadjarisman di meja kerjanya sebagai Ketua Pengadilan Negeri Kelas 1 B Atambua di Nusa Tenggara Timur.

Lantas, Rindu dengan Yuyun Maryati, istrinya, serta keempat anaknya, Fazal Akmal Musyarry (kuliah semester VIII), Fauzan Albab Musyarry (SMA kelas I), Fathya Azizah Musyarry (SMP kelas II), dan Faezar Ahnaf Musyarry (SD Kelas V), pun dibayar sebatas komunikasi melalui telepon seluler.

Bertugas di Atambua bukanlah aktivitas pertama bagi Fadjarisman tinggal di luar tanah kelahirannya di Jawa.

Sudah sejak usia 25 tahun, Fadjarisman menjadi hakim dan berkeliling menjalani tugas di berbagai wilayah di Indonesia.

Tempat tugasnya yang pertama adalah menjadi calon hakim di Pengadilan Negeri (PN) Cilacap di Jawa Tengah (1992-1997), kemudian diangkat sebagai hakim di PN Sinabang Aceh (1997-2000), lalu pindah ke PN Lubuk Sukaping di Sumatera Barat (2000-2005).

Tahun 2005 sampai 2008, Fadjarisman bertugas di PN Bantul Yogyakarta, selanjutnya di PN Tasikmalaya (2008-2010), kemudian menjadi Wakil Ketua PN Pare-Pare (2010-2011), dan naik jabatan sebagai Ketua PN Pare-Pare (2011-2012).

Pada tahun 2012-2014, Fadjarisman menjabat sebagai Ketua PN Bangkalan, kemudian pindah ke PN Sidoarjo (2014-2015) sebagai anggota, lalu menjadi Wakil Ketua PN Pamekasan (2015-2017), dan terakhir menjadi Ketua PN Atambua (2017-sekarang).

"Anak-anak saya yang empat orang ini lahirnya di tempat yang berbeda-beda. Yang pertama lahir di Sinabang, yang kedua dan ketiga lahir di Lubuk Sukaping, dan yang terakhir lahir di Bantul," kata Fadjarisman kepada Kompas.com di Atambua.

Lantaran kerap berpindah tugas, anak-anaknya sempat kesulitan untuk beradaptasi dengan lingkungan baru sehingga Fadjarisman diprotes.

"Terus terang saja, anak-anak itu protes karena selalu ada kendala dalam perpindahan tugas. Mereka selalu kesulitan beradaptasi dengan teman, sekolah, dan bahasa sehingga terakhir di-voting-lah, semua memutuskan tinggal di Malang. Saya pun berkorban untuk tinggal sendirian," ucapnya.

Bukan cuma keluarganya yang harus terus beradaptasi. Berada di Atambua pun bagi Fadjarisman mengharuskannya untuk menyesuaikan diri.

Masih banyak hal sulit di Atambua, dari panas cuacanya yang bisa 39 derajat celsius, sulit air, sulit transportasi, sulit listrik karena hanya ada di kota dan kadang byarpert, juga akses jalan yang kebanyakan masih rusak.

Namun, tinggal sendirian di wilayah Timor Barat ini tetap membuat Fadjarisman menyempatkan diri untuk berbaur dan berdiskusi dengan sejumlah kalangan, termasuk anggota DPRD Belu, anggota kepolisian, petugas imigrasi, jaksa, dan tokoh masyarakat setempat.

Fadjarisman mengaku, selama bertugas di wilayah barunya ini, tidak ada kendala ataupun hambatan. Hanya memang, pengaruh budaya kerja setiap daerah berbeda sehingga disesuaikan saja agar bisa tetap semangat.

Meski demikian, Fadjarisman tetap berharap bisa bertugas di tempat yang dekat dengan keluarganya.

"Karena saya berasal dari Jawa ya kepinginnya bertugas di Jawa biar lebih dekat keluarga. Yang namanya hakim itu tidak bahagia kalau tua-tuanya itu mereka selalu berpisah dengan keluarga. Ini balik lagi kayak masih mahasiswa dulu (tersenyum). Saya kira, semua hakim itu sama dan ingin dekat dengan keluarga," tutupnya.

Baca tentang
Sumber kompas.com

komentar di artikel lainnya
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com