Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Akhir Pencarian Mbah Wongso, Warga Suriname Keturunan Jawa

Kompas.com - 22/10/2017, 08:38 WIB
Wijaya Kusuma

Penulis

YOGYAKARTA,KOMPAS.com - Soegiran Wongsotaroeno (80) atau dipanggil Mbah Wongso Warga Suriname keturunan Jawa seakan tak percaya jika hari bahagia yang sudah lama dinanti-nantikannya telah tiba.

Wajah Soegiran Wongsotaroeno (80) pagi itu terlihat begitu bersemangat dan berbingar-bingar. Mengenakan baju batik dan topi, ditemani Bibid Kuslandinu, Pelaksana Fungsi sosial Budaya KBRI Paramaribo, Mbah Wongso melahap sarapan paginya di hotel.

"Saya sudah tidak sabar bertemu dengan keluarga di Kulonprogo.Tujuan saya jauh-jauh ke Indonesia ini ya untuk bertemu dengan keluarga," ujar Soegiran Wongsotaroeno (80) atau dipanggil Mbah Wongso dalam bahasa Jawa ngoko kepada Kompas.com, Jumat (20/10/2017).

Orang-orang Jawa yang tinggal di Suriname berbahasa Jawa ngoko atau bahasa Jawa kasar. Bahasa Jawa ngoko adalah salah satu yang menetap sebagai identitas bagi komunitas orang-orang Suriname keturunan Jawa. Mereka tidak bisa lagi bercakap bahasa Jawa halus.

Jam menunjukan sekitar pukul 08.45 WIB. Mbah Wongso berpamitan ke Bibid Kuslandinu untuk mengambil tas di kamar hotel. Pria berusia 80 tahun ini lantas berjalan mengambil satu tas koper dan bergegas menuju lobi hotel.

(Baca: Demi Melacak Keluarga, Mbah Wongso Datang dari Suriname ke Indonesia)

Sesampainya di lobi Mbah Wongso sudah ditunggu oleh salah satu keponakannya dari Kulonprogo. Keduanya bersalaman dan berbincang sebentar. Mbah Wongso lantas berpamitan dengan teman -teman peserta Program Family Pilgrim lainya yang juga berkumpul di lobi untuk mengunjungi Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Setelah berpamitan, Mbah Wongso bersama keponakannya menuju sebuah mobil taxi yang sudah menunggu di depan lobi hotel.

Semangatnya yang menggebu untuk segera bertemu keluarga dan melihat tempat kelahiran ayahnya, membuat Mbah Wongso sampai-sampai lupa membawa tas kopernya.

Salah satu petugas tour and travel yang mendampingi rombongan Family Pilgrim memanggil sembari menghantarkan tas tersebut ke tempat Mbah Wongso yang sudah berada di pintu mobil taxi.

Sekitar 45 menit perjalanan ditempuh dari Yogyakarta menuju Kulonprogo. Sesampainya di perempatan Patung Nyi Ageng Serang, mobil taxi yang ditumpangi Mbah Wongso dan keponakannya berbelok ke selatan menuju Kecamatan Panjatan.

Mobil Taxi lalu masuk ke sebuah jalan dusun Gatokan, Kecamatan Panjatan, Kabupaten Kulonprogo. Pepohonan yang rindang di kanan kiri jalan serta keheningan suasana dusun menyambut kedatangan Mbah Wongso.

Setelah sekitar tujuh menit melewati jalan yang hanya cukup untuk satu kendaraan roda empat, mobil taxi yang di tumpangi oleh Mbah Wongso berhenti di sebuah rumah.

Mbah Wongso pun bergegas membuka pintu dan turun dari dalam mobil. Mbah Wongso hanya berdiri, tangannya membetulkan topi sembari memandang sekitar yang mungkin masih asing baginya.

Keponakan yang bersamanya lantas mengajak Mbah Wongso berjalan menuju sebuah rumah. Di dalam rumah sudah menunggu Songko Hardjosukoyo yang tidak lain adalah satu-satunya adik kandung ayahnya, yang masih hidup. Keduanya pun lantas saling bersalaman dan duduk berdampingan.

"Kamu memang mirip sekali dengan bapakmu," ucap Songko Hardjosukoyo sembari memegang erat tangan Soegiran Wongsotaroeno (80) atau dipanggil Mbah Wongso.

Mbah Wongso pun tak kuasa menahan air matanya. Penantian panjang yang selama ini diimpikannya untuk bertemu keluarganya menjadi kenyataan. Perjalanan jauh yang harus ditempuh dari Suriname ke Yogyakarta terbayar sudah.

Apa yang dirasakan Mbah Wongso memang wajar, sebab dari kecil hingga usianya kini yang 80 tahun tinggal di Suriname. Dirinya belum pernah sekalipun datang ke tanah leluhurnya dan bertemu dengan keluarganya di Kulonprogo.

Songko Hardjosukoyo pun tak menyangka di usianya yang ke 99 tahun masih diberikan kesempatan oleh Yang Maha Kuasa untuk bertemu langsung dengan keponakanya.

"Terimakasih jauh-jauh dari Suriname ke sini untuk menjenguk keluargamu. Aku senang masih diberikan kesempatan oleh Yang Mahakuasa bertemu," kata Songko Hardjosukoyo.

Sembari duduk, Songko Hardjosukoyo membuka sebuah buku yang digenggamnya sedari tadi. Buku tersebut berisi catatan silsilah keluarga. Dengan perlahan, pria berusia 99 tahun ini menerangkan kepada Mbah Wongso, siapa kakeknya.

"Simbah namanya Wongsotaruno. Simbah punya enam orang anak, salah satunya bapakmu," urainya.

Anak pertama, Tubiran, anak nomor dua Nyono Sastrowiyono, anak nomor tiga Sardjo, anak nomor empat Songko Hardjosukoyo, anak nomor lima Ginem Bupradjo Pranoto, dan anak terakhir Kemis Hardjosuprapto.

"Bapakmu, Tubiran, ya kakakku kandung. Aku nomor empat," terangnya kepada Mbah Wongso dalam bahasa Jawa Ngoko. 

Songko Hardjosukoyo menceritakan kakaknya Tubiran pergi meninggalkan rumah pada sekitar tahun 1929. Kakaknya itu memutuskan pergi dari rumah karena takut dimarahi ayahnya setelah ketahuan main judi.

"Simbah itu orangnya keras, Kang Tubiran ketahuan main judi, terus tidak berani pulang, takut dimarahi. Pergi dari rumah juga tidak pamit," ujarnya.

Tubiran ditawari kerja oleh temanya dan diajak berangkat ke Suriname. Tubiran ke Suriname melewati pelabuhan Tanjung Emas, Semarang.

Keluarga mengetahui Tubiran berangkat ke Suriname, setelah suatu hari mengirim sejumlah uang untuk saudara -saudaranya.

"Keluarga sempat mencari Kang Tubiran kemana-mana tetapi tidak ketemu, ternyata ikut kerja di Suriname. Keluarga tahu setelah Kang Tubiran kirim uang," tuturnya.

Pernah suatu saat, Tubiran secara tiba-tiba pulang ke Kulonprogo menemui saudara-saudaranya. Saat pulang itu, Tubiran memberikan kenang-kenangan berupa kalung dan gelang emas untuk saudara-saudaranya.

"Saya lupa tahun berapa, Kang Tubiran pulang ke sini membuktikan ke saudara -saudaranya kalau benar bekerja di Suriname. Semua saudaranya waktu itu diberi kenang-kenangan kalung dan gelang emas," ujarnya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com