GORONTALO, KOMPAS.com – Pagi-pagi, sekelompok siswa di Desa Bohulo terlihat ceria dengan seragam sekolahnya. Mereka bergegas menuju sekolah yang berada di pinggiran desa.
Sambil bercanda, Anisa Rahim, siswi kelas 5 dan temannya, Abdurrrahman kelas 6 membincang pelajaran kemarin yang diajarkan guru. Ada hal yang menarik dalam penjelasan guru mereka.
Kaki mungil tanpa sepatu dan hanya mengenakan sandal jepit langsung menempati bangku kayu. Udara dingin pagi terasa menusuk tubuh. Karena ruang kelas tidak ada penghalang dengan di luar, angin pagi langsung memberi kesejukan di dalam kelas.
Dari dalam kelas ini mereka bisa melihat orang desa membawa sapi ke ladang atau penjual sayur melintas di jalan. Tidak ada taman yang asri, yang ada hanya batu kali yang disusun sepanjang depan bangunan, hanya beberapa tanaman bunga yang tumbuh, sisanya tanah dan rumput.
Baca juga: Kebakaran Lahan, Sekolah Ikut Terbakar
Di bagian belakang bangunan sederhana ini, beberapa pohon kelapa tumbuh subur. Daunnya yang lebat menutupi seng penuh karat dari sengatan panas matahari. “Warga Desa Bohulo mengawali pembangunan sekolah ini karena tidak ada sekolah di desa hasil pemekaran ini,” kata Amin Rahman (34), Kepala Desa Bohulo, Rabu (4/10/2017).
Amin menceritakan, sebelum tahun 2012 warga desa prihatin dengan nasib pendidikan anak-anak mereka, Sekolah dasar yang terdekat di SDN4 Potanga, namun letaknya lumayan jauh. Anak-anak harus berjalan kaki untuk bisa sampai di sekolah. “Kami prihatin dengan kondisi pendidikan dan masa depan anak-anak desa,” ujar Amin.
Sekolah ini sebagian bangunannya masih darurat, 4 ruang kelas bagian bawahnya berdinding papan, sisanya dari bulu teto (bambu yang dibelah kecil membentuk lembaran), bahkan sebagian besar tanpa dinding. Dari dalam kelas, siswa bisa melihat kebun di sebelah bangunan ini.
Lantai sekolah ini masih berupa tanah. Papan tulis digantung di tiang kayu yang ditancapkan di tanah, sementara bagian belakangnya terlihat bulu teto reyot bergantung.
“Waktu itu kami hanya perlu minyak (bensin) untuk gergaji mesin, lalu kami memotong kayu dan menjadikannya sekolah, anak-anak kami harus dapat layanan pendidikan, apapun kami perjuangkan untuk itu,” ucap Amin.
Ada 81 siswa yang bersekolah, 3 ruangan permanen ditempati siswa kelas 5, 6 dan dewan guru yang merangkap perpustakaan.
“Satu kelas permanen lantainya sudah pecah-pecah,” kata Jikran Jou (51), Kepala Sekolah SDN 7 Biawu.
Jikran menuturkan, saat musim hujan, setiap hari ruang kelas digenangi air. Lumpur menjadi alas yang dipijak siswa dan guru. Kondisi ini sudah bertahun-tahun berlangsung.
Gangguan dalam proses belajar juga kerap terjadi. Orang lalu lalang sering mengintip di kelas yang berlubang-lubang ini.
“Bahkan binatang seperti anjing setiap hari menyerobot masuk ke kelas dan duduk di dalam ikut belajar,” kata Jikran Jou tertawa.