Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita di Balik Daun Kawa, Kopi Seduhan Daun Khas Sumatera Barat (2)

Kompas.com - 29/09/2017, 07:30 WIB
Rahmadhani

Penulis

 

Belakangan ini, warung kopi kawa daun mudah ditemui di sekitar Kota Padang, di sepanjang perjalanan dari Batusangkar menuju Kota Bukittinggi, hingga dari Kota Bukittinggi menuju Kota Payakumbuh.

Kopi kawa daun menarik minat karena cita rasa yang berbeda dari kopi hitam biasa, serta bahan baku dan tampilannya yang menarik.

Kopi khas Sumatera Barat ini berasal dari seduhan daun kopi seperti teh, tidak menggunakan biji kopi seperti kopi hitam lazimnya.

Dari cerita turun-temurun, penikmat kopi kawa daun mengetahui bahwa konsumsi kopi ini muncul akibat tanam paksa di zaman Belanda. Namun, ada cerita lain yang berbeda. (Baca selengkapnya: Kawa Daun, Kopi Khas Sumatera Barat yang Diseduh dari Daun (1))

 

 

Kisah kopi kawa daun yang lahir dari peristiwa tanam paksa juga diketahui oleh Nazimuddin Malin Katumanggungan, pebisnis kopi kawa daun sejak 2015 di kawasan Tarusan Kamang. Kisah ini didapat dari ibunya.

Tempat berjualan Malin sendiri persis berada di pinggir Bukit Barisan yang dulunya dikenal sebagai pusat penghasil kopi robusta di daerah ini.

Kopi kawa dari Payukumbuh, Sumatera Barat.Kompas.com/Silvita Agmasari Kopi kawa dari Payukumbuh, Sumatera Barat.
Racikan dan kemasan

Menurut Malin, sapaan akrab Nazimuddin, untuk mendapatkan racikan yang enak, dibutuhkan daun kopi tua bewarna kekuning-kuningan yang sudah hampir gugur ke tanah. Usai dipetik, daun ini setidaknya dijemur dulu di bawah sinar matahari sekitar satu jam.

“Jika langsung dikeringkan di atas tungku perapian, rasa dari kopi yang dihasilkan akan pahit, tak lagi nikmat," ucapnya.

Usai dijemur, barulah daun kopi dikeringkan di atas tungku perapian. Proses pengeringan juga tidak boleh terlalu lama, hanya beberapa jam saja.

Tujuannya agar daun bisa disimpan untuk beberapa hari dan bisa dikeringkan kembali di atas perapian saat akan benar-benar diseduh. Saat akan diseduh inilah daun kopi harus benar-benar kering hingga bisa disajikan seperti serbuk teh.

"Untuk mendapatkan hasil terbaik memang harus telaten dan sabar. Saat menjemur di atas tungku perapian juga harus telaten, lengah sedikit saja, api bisa menyambar daun kopi yang kering hingga jadi abu, sehingga terpaksa harus dibuang," tuturnya.

Malin juga tak mau ketinggalan menyajikan variasi dari minuman kopi kawa daun ini. Dia menyediakan gula maupun saka sebagai pemanis kopi ini, termasuk juga membuat variasi dengan menambah susu dan menjadikan kopi kawa daun dalam sajian teh talua.

"Ya, kenapa masih disebut teh talua, padahal sudah ditambah kopi, karena memang rasa kopi kawa daun ini lebih mendekati teh hitam tanpa gula," ungkapnya.

Dari segi penyajian, Malin juga tak mau ketinggalan. Jika kopi kawa daun disajikan di dalam batok kelapa, teh talua malah disajikan dalam gelas berbentuk bambu yang sendoknya juga dibuat khusus dari bambu.

"Ini kesukaan bule," tuturnya.

Dulu, kisah Malin, kopi kawa daun tidaklah disajikan seperti saat ini, dimana bisa diminum dalam waktu hingga berjam-jam selagi penikmatnya bercakap-cakap. Dulu, meminum kopi kawa daun ini seperti shoju di Korea, yang jika dituang dalam gelas, sudah harus ditengak dalam satu kali minum.

"Serbuk kawa daun diletakkan dalam wadah gelas berbentuk bambu, disiram air panas. Pada bagian ujungnya ditutup dengan ijuk. Saat kopi dituang, ijuklah yang berfungsi menyaring serbuk kopi ini," ucap pria yang rambutnya sudah memutih ini.

Malin juga menambahkan, warung kopi yang dibukanya ini juga untuk membangkitkan nostalgia generasi yang dulunya sempat menikmati kopi kawa daun ini di tahun 80an ke bawah.

"Bagi yang tahu cita rasa kopi ini, tidak akan mau memakai gula, lebih suka menggunakan saka dengan adonan kopi yang lebih pekat. Tujuannya agar cita rasa kopi tidak kalah dengan rasa manis. Dan dari pecinta kopi kawa daun di era 80an inilah, kami meyakini bahwa kawa daun lahir karena upaya tanam paksa yang dilakukan pemerintah Belanda saat itu," ucap Malin.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com