Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jalu Priambodo

Direktur Eksekutif Lembaga Kajian INSTRAT.

Mengapa Peta Pilkada Jawa Barat Tak Kunjung Tergambar?

Kompas.com - 26/09/2017, 07:33 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorLaksono Hari Wiwoho

MEMASUKI delapan bulan jelang pelaksanaan pilkada serentak tahun 2018, pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Jawa Barat belum ada yang memastikan diri untuk maju dalam kontestasi tersebut.   

Meskipun survei yang dirilis Indonesia Strategic Institute (Instrat) pada 16 Januari 2017 telah menempatkan Ridwan Kamil, Deddy Mizwar, dan Dedi Mulyadi sebagai kandidat kuat Gubernur, namun sampai saat ini belum ada yang bisa memastikan ketiga kandidat tersebut dapat berlaga di Pilkada Jawa Barat 2018.

(Baca juga Ini Tiga Bakal Calon Kuat Gubernur Jabar Versi Instrat)

Kompleksitas Pilkada Jawa Barat sebenarnya terjadi karena daerah tersebut dianggap sebagai daerah strategis bagi partai politik menuju Pemilu 2019. Ditambah lagi dengan adanya pilkada serentak di 17 kota/kabupaten di Jawa Barat. Berikut ini beberapa analisis mengenai mengapa partai tak kunjung memberi dukungannya di Pilkada Jabar 2018 kelak.

Ridwan Kamil dan jebakan Nasdem

Ridwan Kamil merupakan favorit dalam Pilkada Jawa Barat 2018 karena selalu mengantongi angka elektabilitas tertinggi di antara kandidat lain dalam beberapa survei. Namun, Emil juga memiliki kelemahan sebab bukan kader partai mana pun.

Melihat situasi tersebut, Nasdem menawarkan diri menjadi partai pertama yang mendukung Kang Emil tanpa mengharuskannya masuk sebagai kader partai. Akan tetapi, Nasdem juga mengunci Emil dengan syarat keharusan mendukung Joko Widodo sebagai calon presiden di Pemilu 2019.  

Hal inilah yang kemudian membuat beberapa partai mundur dari kemungkinan mendukung RK di 2018. Gerindra masih memiliki Prabowo sebagai capres, sedangkan PKS dan Demokrat nampak enggan terikat lebih awal dalam dukungan terhadap Jokowi sebab saat ini masih berstatus partai non-pemerintah.

Ridwan Kamil memiliki tugas berat meyakinkan partai lain sebab kursi Nasdem hanya lima. Artinya, Kang Emil masih harus mendapatkan 15 kursi parlemen dari partai lain agar dapat melenggang maju. Rumitnya lagi, partai tersebut pasti akan memperebutkan posisi calon wakil gubernur bagi Ridwan Kamil.  

Pertaruhan Golongan Karya

Golongan Karya merupakan partai yang cukup dominan di kota/kabupaten di Jawa Barat. Namun, dominasi Golkar ternyata tidak bisa berlanjut pada level provinsi. Sejak tahun 2008, posisi Gubernur Jawa Barat selalu luput dari tangan Partai Golkar.

Menjelang 2018, ada sebuah ultimatum dari DPP Golkar yang menghendaki berakhirnya "puasa gelar" di Jawa Barat. Dedi Mulyadi meskipun selalu menempati posisi tiga besar elektabilitas cagub dianggap belum cukup memuaskan oleh DPP.

Inilah yang membuat DPP Golkar terus merayu Ridwan Kamil untuk maju sebagai kandidat gubernur dari Partai Golkar. Situasi yang jelas membuat DPD Golkar Provinsi Jawa Barat merasa dilangkahi. Sebab, jauh-jauh hari DPD Golkar Jawa Barat sudah mendeklarasikan Dedi Mulyadi sebagai kandidat gubernur.

Misteri PDI-P

PDI-P memiliki nasib yang serupa dengan Partai Golkar. Sebagai partai yang cukup dominan di kota/kabupaten di Jawa Barat, PDI-P masih belum berhasil menempatkan kadernya di posisi gubernur Jawa Barat.

Terlebih lagi posisi PDI-P saat ini adalah partai dengan kursi parlemen terbanyak di DPRD Jawa Barat. Dengan 20 kursi yang dimiliki, PDI-P bahkan tidak perlu berkoalisi dengan partai lain untuk mengajukan calon gubernur.

Sempat menginginkan Ridwan Kamil, PDI-P harus menelan kekecewaan sebab Ridwan Kamil telanjur menjadi rebutan Nasdem, PKB, dan terakhir Partai Golkar. Ridwan Kamil sendiri juga nampak enggan mendaftarkan dirinya melalui PDI-P.  

Jika di Golkar dinamika pilkada berlangsung secara terbuka, di PDI-P publik tidak bisa menebak secara jelas ke mana arah dukungan partai tersebut. Keputusan pilkada akan kembali ke tangan Megawati Soekarnoputri selaku Ketua Umum dan jika mengacu pada Pilkada 2017, maka keputusan tersebut akan diumumkan di akhir.

PKS dan konstelasi pilpres

PKS melihat Pilkada Jawa Barat satu irama dengan pemilihan presiden. Hal ini didasari pada besarnya sumbangan suara Jawa Barat pada pemilihan presiden.

Pada Pilpres 2014, Jawa Barat menyumbangkan 14 juta suara bagi Prabowo Subianto dan mengalahkan 9 juta suara Joko Widodo. Ketika itu yang menjadi Ketua Tim Sukses adalah Ahmad Heryawan, kader PKS sekaligus Gubernur Jawa Barat.

Pada Pilkada 2018, PKS akan kembali menjadikan Pilgub Jawa Barat sebagai daya tawar bagi calon presiden di Pilpres 2019. Terlebih lagi ada keharusan partai memenuhi syarat 20 persen kursi parlemen untuk maju di pilpres. PKS nampaknya berupaya menyegel kesepakatan lebih awal dengan Prabowo jika masih ingin maju di 2019.

Hal ini ditegaskan oleh Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera, yang mengatakan bahwa kesepakatan Pilkada Jabar satu paket dengan pilpres. Karena adanya ketentuan satu paket inilah, PKS percaya diri mengajukan Ketua DPW PKS Ahmad Syaikhu sebagai calon wakil gubernur meskipun secara popularitas masih di bawah kandidat lainnya. Namun, hal ini juga membuat partai lain berpikir ulang untuk mengawinkan kandidatnya dengan kandidat PKS.

Trauma Gerindra

Sosok Basuki Tjahaja Purnama dan Ridwan Kamil merupakan sosok yang turut diorbitkan oleh Partai Gerindra dalam Pilkada DKI Jakarta dan Pilkada Kota Bandung. Bahkan Ahok adalah kandidat yang diminta langsung oleh Prabowo untuk berpasangan dengan Jokowi di Pilkada 2012.

Namun, ketenaran yang diperoleh Ahok dan Emil tidak membuatnya setia pada partai pengusungnya. Ahok meninggalkan Gerindra pasca-Pilpres 2014 dan Ridwan Kamil terus menolak menjadi kader Gerindra.  

Berbekal pengalaman tersebut, Gerindra kemudian menerapkan saringan yang sangat ketat bagi mereka yang ingin maju melalui Gerindra. Tarik-menarik masalah syarat inilah yang membuat Deddy Mizwar tidak kunjung memperoleh restu secara resmi dari Gerindra untuk maju di Pilkada Jawa Barat.

Menanti kejutan poros baru

Partai Demokrat, PPP, dan PAN berhasil mencuri perhatian di Pilkada DKI Jakarta 2017 dengan mendeklarasikan pasangan AHY-Silvy yang tidak diduga siapa pun. Wacana untuk menghidupkan poros alternatif ini kembali muncul jelang Pilkada Jawa Barat 2018.

Di luar PKB yang sudah mendeklarasikan dukungan bagi Ridwan Kamil, Demokrat masih berupaya mengonsolidasikan PPP, PAN, dan bahkan Gerindra untuk mengajukan kandidat alternatif.  

Ketua DPD Partai Demokrat Jawa Barat sudah mengatakan akan memunculkan kandidat yang belum pernah ada dalam bursa pilkada saat ini. Namun, berkaca pada Pilkada DKI Jakarta, kandidat yang muncul belakangan punya pekerjaan rumah besar mengejar ketertinggalan dari kandidat lainnya. Dan, terbukti AHY tidak mampu tampil sebagai pemenang.

Akankah Demokrat mampu meyakinkan partai lain untuk mengambil risiko serupa? Atau malah berujung pada antiklimaks dengan mendukung calon yang sudah start lebih dulu? Jawabannya tergantung pada suara dari Cikeas.  

Itulah beberapa hal yang membuat konstelasi Pilkada Jawa Barat sangat menarik untuk disimak. Satu poin lagi yang menjadi alasan mengapa para kandidat sangat tergantung pada dukungan partai adalah besarnya penduduk di Jawa Barat yang membuat sangat sulit untuk mengajukan calon independen.

Adanya ketentuan tambahan dibandingkan Pilkada 2013 membuat kandidat independen semakin sulit untuk bergerak. Thus, dengan demikian membuat para kandidat tersandera oleh kepentingan partai politik yang sangat beragam.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com