Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Karim Raslan
Pengamat ASEAN

Karim Raslan adalah kolumnis dan pengamat ASEAN. Dia telah menulis berbagai topik sejak 20 tahun silam. Kolomnya  CERITALAH, sudah dibukukan dalam "Ceritalah Malaysia" dan "Ceritalah Indonesia". Kini, kolom barunya CERITALAH ASEAN, akan terbit di Kompas.com setiap Kamis. Sebuah seri perjalanannya di Asia Tenggara mengeksplorasi topik yang lebih dari tema politik, mulai film, hiburan, gayahidup melalui esai khas Ceritalah. Ikuti Twitter dan Instagramnya di @fromKMR

Impian Masa Depan Seorang Penggiling Padi di Medan

Kompas.com - 18/09/2017, 11:24 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorAmir Sodikin

“AHOK tidak ada hubungannya dengan kami, orang Tionghoa Medan. Kota kami selalu aman dan harmonis. Bahkan ketika 1998, ya, kami memang mengalami beberapa kejadian, tetapi tidak separah di Jakarta. Kami semua hidup dengan damai di sini.” 

Demikian komentar Darwin, seorang keturunan Indonesia-Tionghoa berusia 48 tahun, pemilik bisnis penggilingan padi di Sunggal, pinggiran kota Medan, ibu kota Sumatra Utara.

Berbicara dalam bahasa Indonesia dengan sedikit logat Hokkien, pengusaha beretnis Tiochiu ini tidak memiliki sentimen apa pun saat merujuk ke Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), mantan Gubernur DKI Jakarta yang kontroversial dan sedang menjalani hukuman.

Saya menunjukkan kepadanya kemajuan pesat yang dialami kota-kota seperti Jakarta di bawah kepemimpinan Ahok, dan Surabaya di bawah wali kota yang memiliki semangat tinggi, Tri Rismaharani. Namun, Pak Darwin menanggapinya dengan sopan.

“Orang Jawa lebih mudah untuk di-manage. Di Medan, kami memiliki orang Batak, Melayu, Jawa, Tionghoa, dan India. Bagaimana cara menangani semuanya?” kata Darwin.

Dengan lebih dari 2 juta penduduk, Medan adalah kota ke-4 terbesar di Indonesia dan kota terpadat di luar Pulau Jawa. Kota ini juga merupakan salah satu kawasan yang paling banyak memiliki keberagaman suku Indonesia, seperti Batak 34 persen (yang kebanyakan Kristen), Jawa 33 persen, Tionghoa 10,65 persen, Minangkabau 8,6 persen, dan etnis Melayu 6,59 persen.

Keberagaman ini membuat usaha untuk menyatukan masyarakat Medan yang berbeda-beda menjadi tugas yang berat.

Memang, meskipun memiliki jumlah penduduk yang cukup besar, Sumatera Utara kurang memiliki bobot politik sebesar provinsi-provinsi lain di Jawa (Banten dan Jakarta). Dengan populasinya yang besar, para pemimpin di daerah ini sering merasa kesulitan untuk mendapatkan dana pembangunan.

Tantangan ini terlihat sangat jelas ketika mengamati jalan raya dan infrastruktur kota yang buruk.

Meskipun mereka memiliki mesin pengering, namun para penggiling juga mengeringkan padi di bawah matahari.Dok Karim Raslan Meskipun mereka memiliki mesin pengering, namun para penggiling juga mengeringkan padi di bawah matahari.
Keluarga Darwin telah memiliki bisnis penggilingan padi di Medan selama tiga generasi. Usaha mereka bisa saja tidak akan bertahan hingga generasi keempat.

“Kakek saya datang dari China dan membeli lahan ini untuk membangun pabrik penggilingan padi. Ayah saya kemudian melanjutkan bisnis tersebut dan meneruskannya kepada saya. Tanah ini adalah warisan keluarga saya,” kata Darwin.

Darwin adalah lelaki dengan sedikit bicara. Mengenakan topi hijau yang khas dan handuk yang menggantung di lehernya, Darwin atau biasa dipanggil teman-temannya “Ah Kheng” membawa saya berkeliling untuk melihat proses produksi beras.

“Kami memulainya dengan membeli padi dari para tengkulak yang telah mengumpulkannya dari seluruh petani. Padi itu kami beli seharga Rp 4.200 per kilogram,” papar Darwin.

Setelah itu, padi kemudian dikeringkan di mesin selama 10 jam. Jika mesin pengeringnya penuh, Darwin akan menjemurnya di bawah terik matahari. Mesin pengering itu ukurannya besar hingga hampir dua lantai.

“Gabah yang sudah kering lalu dimasukkan ke mesin lain untuk menghilangkan kulit gabahnya. Kemudian, dengan menggunakan ayakan, beras dan kulit gabah dipisah ke dalam wadah yang berbeda. Kami mengumpulkan kulit gabahnya untuk diberikan ke petani sebagai pupuk,” jelas Darwin.

Halaman:

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Pj Gubri Ajak Pemkab Bengkalis Kolaborasi Bangun Jembatan Sungai Pakning-Bengkalis

Pj Gubri Ajak Pemkab Bengkalis Kolaborasi Bangun Jembatan Sungai Pakning-Bengkalis

Regional
Diskominfo Kota Tangerang Raih Penghargaan Perangkat Daerah Paling Inovatif se-Provinsi Banten

Diskominfo Kota Tangerang Raih Penghargaan Perangkat Daerah Paling Inovatif se-Provinsi Banten

Regional
Fakta dan Kronologi Bentrokan Warga 2 Desa di Lombok Tengah, 1 Orang Tewas

Fakta dan Kronologi Bentrokan Warga 2 Desa di Lombok Tengah, 1 Orang Tewas

Regional
Komunikasi Politik 'Anti-Mainstream' Komeng yang Uhuyy!

Komunikasi Politik "Anti-Mainstream" Komeng yang Uhuyy!

Regional
Membedah Strategi Komunikasi Multimodal ala Komeng

Membedah Strategi Komunikasi Multimodal ala Komeng

Regional
Kisah Ibu dan Bayinya Terjebak Banjir Bandang Berjam-jam di Demak

Kisah Ibu dan Bayinya Terjebak Banjir Bandang Berjam-jam di Demak

Regional
Warga Kendal Tewas Tertimbun Longsor Saat di Kamar Mandi, Keluarga Sempat Teriaki Korban

Warga Kendal Tewas Tertimbun Longsor Saat di Kamar Mandi, Keluarga Sempat Teriaki Korban

Regional
Balikpapan Catat 317 Kasus HIV Sepanjang 2023

Balikpapan Catat 317 Kasus HIV Sepanjang 2023

Regional
Kasus Kematian akibat DBD di Balikpapan Turun, Vaksinasi Tembus 60 Persen

Kasus Kematian akibat DBD di Balikpapan Turun, Vaksinasi Tembus 60 Persen

Regional
Puan: Seperti Bung Karno, PDI-P Selalu Berjuang Sejahterakan Wong Cilik

Puan: Seperti Bung Karno, PDI-P Selalu Berjuang Sejahterakan Wong Cilik

Regional
Setelah 25 Tahun Konflik Maluku

Setelah 25 Tahun Konflik Maluku

Regional
BMKG: Sumber Gempa Sumedang Belum Teridentifikasi, Warga di Lereng Bukit Diimbau Waspada Longsor

BMKG: Sumber Gempa Sumedang Belum Teridentifikasi, Warga di Lereng Bukit Diimbau Waspada Longsor

Regional
Gempa Sumedang, 53 Rumah Rusak dan 3 Korban Luka Ringan

Gempa Sumedang, 53 Rumah Rusak dan 3 Korban Luka Ringan

Regional
Malam Tahun Baru 2024, Jokowi Jajan Telur Gulung di 'Night Market Ngarsopuro'

Malam Tahun Baru 2024, Jokowi Jajan Telur Gulung di "Night Market Ngarsopuro"

Regional
Sekolah di Malaysia, Pelajar di Perbatasan Indonesia Berangkat Sebelum Matahari Terbit Tiap Hari

Sekolah di Malaysia, Pelajar di Perbatasan Indonesia Berangkat Sebelum Matahari Terbit Tiap Hari

Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com