Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Rakit Bambu yang Setiap Waktu Seberangkan Warga Desa

Kompas.com - 09/09/2017, 07:31 WIB
Rosyid A Azhar

Penulis

GORONTALO, KOMPAS.com  - Beberapa anak sekolah tampak berdiri di atas batu kali menunggu rakit  yang akan menyeberangkan mereka ke seberang sungai Mongiilo.

"Kak Buang,  jangan lama-lama,” seru Rahmat salah seorang anak, memanggil Taufik Kue (26) yang biasa dipanggil Buang, yang mengoperasikan rakit ini, Jumat (8/9/2017).

“Sabar, masih menunggu ibu dari seberang dulu,” kata Taufik.

Rakit penyeberangan itu telah berusia 13 tahun di Desa Mongiilo Kecamatan Bulango Ulu Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo. Rakit terbuat dari bambu, tersusun atas 90 batang bambu. 80 batang bambu Tomula (bambu tipis) dan 10 batang bambu Talilo (bambu sedang). Beberapa papan disusun di atasnya.

Setiap hari Taufik dan bapaknya, Gufran Kue (50) bergantian mengoperasikannya. Mereka membangun pondok tempat tinggal yang sangat sederhana di pinggir sungai.

“Setiap saat bisa dipanggil jika ada yang memerlukan, tinggal teriak dari seberang sungai,” kata Gufran.

Baca juga: Berita Foto: Kisah Polisi Menyeberangkan Anak Sekolah dengan Rakit

Sudah 3 tahun ini Gufran dan anaknya melayani penyeberangan dengan rakit yang dimiliki oleh Yasin Nusi, warga Mongiilo. Setiap pagi hingga malam, dia melayani masyarakat, mulai petani, pedagang hingga siswa sekolah hilir mudik di sungai Mongi’ilo.

Di seberang sungai, masih ada beberapa desa, Dusun Pohumbuo Monggi’ilo, Mongi’ilo Utara, dan Desa Ilomata. Hampir seluruh warganya adalah petani yang mengandalkan kebun jagung, aren, aneka hortikultura,  dan kelapa.

“Hari Rabu dan Kamis adalah hari paling ramai, banyak sekali antrean masyarakat yang akan menyeberang. Mereka membawa hasil kebun untuk dijual di pasar Kamis, Tapa,” kata Gufran.

Komoditas yang biasa dijual adalah gula aren, jagung, kopra, pisang dan sayuran. Mereka membawa keluar dagangannya pada hari Rabu di Pasar Kamis.

Untuk membayar jasa penyeberangan ini, setiap orang cukup menyerahkan Rp 2.000. Motor dan barang dagangan tidak dihitung.

“Kalau anak sekolah Rp 30.000 sebulan pergi pulang, lebih murah agar mereka mau berangkat sekolah, kelak menjadi orang yang baik dan berguna bagi bangsa dan negara,” kata Gufran tersenyum.

Anak-anak Desa Monggi’ilo harus pergi ke seberang sungai untuk bersekolah. Di seberang, ada beberapa sekolah seperti SDN 2 dan SMPN 2 di Mongi’ilo Utara dan SDN 6 di Desa Ilomata.

“Mereka adalah harapan bangsa, seperti halnya anak saya yang terakhir, masih sekolah kelas 8. Insya Allah kelak mereka memiliki ilmu yang bermafaat dan berbuat baik untuk sesama,” ucap Gufran.

 

Sejumlah siswa menumpang rakit bambu untuk menyeberangi Sungai Mongiilo di Kecamatan Bulango Ulu Kabupaten Bone BolangoKOMPAS.com/ROSYID AZHAR Sejumlah siswa menumpang rakit bambu untuk menyeberangi Sungai Mongiilo di Kecamatan Bulango Ulu Kabupaten Bone Bolango
Dari mengoperasikan rakit tersebut, Gufran setiap hari menerima sepertiga total pendapatannya. Rata-rata dia mendapat Rp 75.000, uang ini dibagi 2 dengan anaknya, Taufik.

Dia mengaku uang yang diperolehnya itu memang belum mencukupi kebutuhan sehari-harinya. Namun dia tetap bersyukur bisa menghidupi 3 anaknya, 2 anaknya telah menikah dan tinggal di luar daerah. “Anak saya masih kecil saat ditinggal ibunya,” kata Gufran.

Sungai Mongi’ilo lebarnya 30 meter dengan kedalaman 1,5 meter. Sungai ini adalah anak dari Sungai Bolango. Di bagian hulunya bercabang dua, warga desa biasa menyebutnya sebagai Sungai Butaiyo Da’a dan Butaiyo Kiki.

Tidak setiap saat rakit penyeberangan ini difungsikan. Bila musim hujan lebat air sungai meluap, Gufran dan anaknya memilih tidak mengoperasikan demi keselamatan warga.

“Sudah 8 kali tali pengaman putus, rakit hanyut bersama penumpangnya. Dengan bambu kami berusaha menepikan dengan galah bambu ke salah satu sisi sungai. Belum pernah ada korban,” tutur Gufran.

Baca juga: Banjir Rendam 2 Kecamatan, Warga dan Pelajar Gunakan Rakit

Jika air meluap, arus sungai sangat kencang, biasanya hewan seperti ular atau biawak ikut terbawa arus. Warga desa sudah biasa dengan pemandangan ini.

Bagi warga di luar Kecamatan Bulango Ulu, berada di pedesaan ini sangat menawan. Menghirup udara bersih dan melihat kawasan kebun warga adalah pemandangan yang menawan, sesekali burung Julang Sulawesi berteriak di tepi hutan. Suaranya nyaring memecah kesunyian siang.

Sebenarnya rakit ini bukan satu-satunya sarana penyeberangan, masih ada satu jembatan gantung yang dibangun Pemerintah Bone Bolango, namun karena letaknya harus memutar jauh, sehingga banyak orang yang memilih rakit untuk menyeberang.

Keberadaan rakit penyeberangan ini sangat bermanfaat bagi kehidupan warga desa. Mereka menggantungkan distribusi hasil pertanian untuk dibawa ke pasar melalui jalur ini.

Gula aren, kopra, sayur, buah, dan komoditas lainnya dibawa ke Pasar Kamis di Tapa. Sepulang dari pasar mereka membawa barang-barang kebutuhan yang akan dijual di desa.

Camat Bulango Ulu, I Wayan Ranawa mengapresia adanya rakit penyeberangan tersebut karena telah banyak membantu warga dan pemerintah.

“Rakit ini juga digunakan aparat pemerintahan untuk melayani masyarakat, perannya sangat penting,” kata I Wayan Ranawa.

Namun tampaknya pelanggan Gufran dan Taufik akan berkurang seiring dengan akan dibangunnya jembatan di wilayah itu. Rencananya tahun ini jembatan gantung sepanjang 70 meter akan dibangun.

Kompas TV Jembatan Ambrol, Siswa dan Guru Terlambat ke Sekolah
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com