Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Petani Kacang Unting di Banyuwangi Bawa Jualan hingga ke Bali

Kompas.com - 08/08/2017, 08:00 WIB
Kontributor Banyuwangi, Ira Rachmawati

Penulis

BANYUWANGI KOMPAS.com - Setumpuk kacang tanah dan sekelompok ibu yang sedang membersihkan kacang tanah yang baru panen adalah pemandangan yang biasa ditemui hampir di setiap halaman rumah di Desa Olehsari, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi.

Para ibu tersebut mengikatnya menjadi satu "unting" atau satu ikatan kecil yang berisi 15 kacang tanah utuh dengan kulitnya. Setelah itu, tumpukan kacang tanah tersebut akan dicuci bersih lalu direbus dan siap untuk dijual.

Tidak tanggung-tanggung, mereka menjual kacang unting hingga ke Bali. Satu ikat kecil kacang tanah yang sudah direbus dihargai Rp 1.000.

Sejak tahun 1950-an, kacang tanah sudah menjadi sumber penghasilan utama masyarakat Desa Olehsari. Menurut Arif Wibowo, Ketua Karang Taruna Desa Olehsari, tidak semua lahan pertanian di wilayah Desa Olehsari mendapatkan irigasi rutin setiap tahun.

Sebagian sawah mendapatkan air secara bergiliran. Saat sawah tidak mendapat jatah giliran mendapatkan air, mereka tetap memanfaatkan lahan mereka dengan menanami kacang tanah.

"Sistem tanam tersebut sudah dilakukan sudah berpuluh-puluh tahun oleh warga Olehsari dan mereka menjual kacang hasil panen mereka dalam bentuk untingan atau ikat. Dan hampir 90 persen warga desa ini hidup dari kacang untingan mulai pemilik lahan, buruh untuk mengikat sampai penjual kacang yang sudah matang," ujar Arif, Minggu (6/8/2017).

(Baca juga: Apa Kabar Kicak dan Kacang Kumbon, Takjil yang Hanya Ada Tiap Ramadhan di Yogyakarta?)

Mengikat kacang tanah menjadi bagian kecil dikerjakan oleh ibu-ibu di wilayah desa tersebut dengan upah Rp 2.000 per 100 ikat. Ongkos yang sama juga didapatkan untuk buruh mencuci kacang tanah.

"Biasanya kalau sekalian nyuci sama ngikat kacang dapat Rp 4.000 untuk 100 unting. Nyuci kacangnya menggunakan pasir agar tanah yang melekat di kulit kacang bisa bersih," ujar Suidah, salah satu penjual kacang di Desa Olehsari.

Saat merebus kacang, Suidah mengaku, hanya menambahkan garam di dalam air rebusan. Satu panci besar bisa digunakan untuk merebus sampai 300 ikat kacang.

"Jadi ngitungnya nggak kiloan tapi berapa ikat kacang," tuturnya.

Setelah matang, Supri, suami Suidah, langsung menjual kacang rebus tersebut ke Bali lewat penyeberangan Ketapang Gilimanuk. Bahkan Suidah mengaku suaminya beberapa kali menjual kacang hingga ke Denpasar dan Kuta Bali.

"Jika merebusnya bagus, bisa 3 hari enggak basi kacangnya. Tapi jarang sampai 3 hari enggak sampai 1 hari, suami saya pulang. Kadang susah ada yang borong sampai di Bali. Sekali bawa ke Bali bisa 600 sampai 700 ikat kacang," ucapnya.

Hal senada juga diceritakan Ahmad, salah satu warga Desa Olehsari. Dia mewarisi pekerjaan sebagai penjual kacang unting sejak dari kakek dan bapaknya. Untuk mendapatkan kacang tanah yang baru panen, Ahmad sampai harus mencari di luar Desa Olehsari.

"Biasanya sistem tebas. Jadi satu lahan gitu dijual berapa gitu hasil panennya. Ada yang Rp 3 juta sekali tebas, ada juga yang Rp 11 juta. Biasanya kalau panen satu karung goni besar bisa jadi 300 unting," kata Ahmad.

Kacang tanah dipanen setiap tiga bulan sekali. Dia mengaku sengaja memilih menjual kacang untingnya ke Bali karena lebih banyak pembeli dibandingkan jika menjualnya di wilayah Banyuwangi.

Biasanya dia berangkat pada pagi hari menuju Bali dan sore hingga malam sudah sampai lagi di Banyuwangi. Namun jika ada acara festival di Banyuwangi, Ahmad mengaku memilih menjual kacangnya di Banyuwangi tanpa harus pergi ke Bali.

"Saya naik motor diparkir di pelabuhan tapi ada juga yang naik mobil pikap tertutup bareng-bareng. Ada kelompok-kelompoknya sendiri. Jumlahnya ada kalau 200-an orang lebih yang jualan di Bali. Itu yang saya tahu tapi jumlahnya bisa lebih karena hampir semua warga disini jualan kacang unting," katanya.

Sementara itu, berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2016, ada sekitar 9 hektar ladang kacang tanah di Desa Olehsari dengan hasil panen mencapai 12 ton per tahun.

"Rencananya kami akan mengembangkan kacang bukan hanya kacang unting tapi juga jenis makanan dari kacang lainnya seperti Ting Ting kacang yang lebih awet dan tentu nya harganya lebih mahal dibandingkan kacang unting yang dijual Rp 1.000 per ikat," tambah Arif kemudian.

 

Kompas TV Kafe Tempe dan Tahu Ini Laku di Jerman
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com