Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cagar Budaya Akan Dieksekusi, Warga Adat Sunda Wiwitan Demo

Kompas.com - 13/07/2017, 17:21 WIB
Muhamad Syahri Romdhon

Penulis

KUNINGAN, KOMPAS.com – Sejumlah warga adat Sunda Wiwitan Cigugur Kuningan bersama Lembaga Swadaya Masyarakat Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia (LSM GMBI) mendatangi kantor Pengadilan Negeri Kuningan, Jawa Barat, Kamis(13/7/2017).

Mereka menolak rencana eksekusi pada sekitar dua hektar lahan yang berisi Cagar Budaya Nasional, yang akan dilakukan pengadilan pada 20 juli mendatang.

Unjuk rasa warga adat Sunda Wiwitan sudah berlangsung sejak Kamis pagi. Mereka memenuhi sebagian halaman perkantoran PN Kuningan. Dengan pakaian khas, mereka terus berorasi yang berisi penolakan rencana eksekusi.

Sebagian warga juga membawa alat musik tradisional untuk dimankan di tengah aksi.

Setelah beberapa menit berlangsung, perjuangan mereka dibantu dengan aksi solideritas ratusan anggota LSM GMBI dari sejumlah wilayah, antara lain: Kuningan, Cirebon, Majalengka, Tasik, dan lainnya.

Melalui alat pengeras suara, mereka menyebutkan, upaya eksekusi Cagar Budaya Nasional, merupakan pelemahan terhadap budaya warisan tanah air indonesia.

Oky Satrio salah satu warga adat Sunda Wiwitan Cigugur mengatakan, rencana eksekusi lahan atas perkara No 7/Pdt.G/2009/PN Kng. memiliki banyak kejanggalan baik prosedur maupun pemeriksaan fakta dan bukti persidangan atas Keputusan Hukum yang telah diputuskan.

“Ada tiga kejanggalan utama, pertama pihak termohon belum menerima hasil putusan Mahkaman Agung sejak tahun 2015. Kedua, banyaknya dugaan keterangan yang justru menimbulkan keraguan. Dan ketiga, rencana eksekusi justru menabrak UU Cagar Budaya Nomor 11 tahun 2010,” kata Oky dalam rilisnya.

Baca juga: Dedi Mulyadi Minta Wali Kota Cimahi Urus KTP Penganut Sunda Wiwitan

Usai melaksanakan mediasi bersama Pengadilan Negeri, Oky di hadapan sejumlah wartawan, menjelaskan, duduk perkara sengketa lahan dipicu adanya gugatan yang dilakukan salah satu keturunan Pangeran Tedjabuana, yakni Jaka Rumantaka.

Jaka mengklaim tanah adat Sunda Wiwitan yang berada di Blok Mayasih dan Leuweung Leutik Lumbu Cigugur merupakan warisan milik pribadinya.

Padahal sejak tahun 1960, leluhur warga adat termasuk Pangeran Tedjabuana dan seterusnya, tidak mensertifikatkan tanah, karena menyadari seluruh tanah adat adalah milik komunal, yang tidak dapat dijual kepada pihak manapun termasuk keturunan pemuka adat, untuk dijadikan hak milik pribadi.

Proses pembuatan sertifikat tanah Jaka Rumantaka yang dibuat beberapa tahun terakhir pun dinilai cacat hukum.

“Tahun 60, leluhur kami tidak mensertifikatkan wilayah adat karena itu milik komunal. Salah satu keturunan tiba-tiba melakukan gugatan terhadap warga yang menempati wilayah itu. Padahal tanah komunal adat hanya digunakan untuk kepentingan bersama” ucapnya.

Oky mengatakan, pemerintah sudah menetapkan, tanah serta sejumlah bangunan warga adat Sunda Wiwitan Cigugur sebagai Cagar Budaya Nasional, beberapa di antaranya adalah Gedung Paseban Tri Panca Tunggal dan sejumlah wilayah Masyarakat Adat Karuhun Urang Sundawiwitan (Akur) Cigugur.

Menurut dia, perjuangan warga adat bersama berbagai elemen masyarakat yang peduli kedaulatan dan cagar budaya, akan terus dilakukan.

Mereka tetap menolak rencana eksekusi yang akan dilakukan pada 20 Juli mendatang, dan akan melakukan pertahanan bila eksekusi tetap dilakukan.

Baca juga: Penghayat Sunda Wiwitan: Agama Impor Diakui, Mengapa Agama Leluhur Tidak?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com