PURWAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy berencana memberlakukan kebijakan lima hari sekolah. Namun kebijakan itu kemudian dibatalkan oleh Presiden Joko Widodo.
Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi mengatakan, kebijakan sekolah lima hari dalam sepekan telah diberlakukan di Purwakarta sejak beberapa tahun lalu. Meski lima hari di sekolah, pola pendidikan berbasis karakter tersebut memiliki makna pendidikan selama seminggu penuh.
"Tujuh hari memiliki tema pendidikan berbeda, berbasis karakter wilayah. Hari Senin Ajeg Nusantara, Selasa Mapag Buana, Rabu Maneuh di Sunda, Kamis Nyanding Wawangi, Jumat Nyucikeun Diri dan Sabtu, Minggu Betah di Imah," terang Dedi, Senin (19/6/2017).
Baca juga: Jokowi Batalkan Program Sekolah 8 Jam Sehari
Ketujuh tema pendidikan bagi pelajar Purwakarta itu adalah setiap Senin, siswa difokuskan mempelajari tentang nasionalisme kebangsaan. Selasa fokus pada sejarah dunia dan Rabu bertema pendidikan kesundaan dan kearifan lokal.
Lalu Kamis, para siswa diajarkan tentang cara berkreativitas, dan Jumat para siswa mendalami kehidupan religius mereka masing-masing. Sementara Sabtu dan Minggu mereka menjalani pendidikan di rumah oleh para orangtuanya masing-masing.
“Kita mah gak ada problem, kebijakan sekolah lima hari sudah lama diterapkan di Purwakarta,” tambah dia.
Tak ganggu diniyah
Agar para pelajar tetap pulang ke rumah masing-masing siang hari dan bisa mengikuti sekolah agama di madrasah diniyah, jam masuk sekolah di Purwakarta lebih awal, yakni setiap pukul 06.00 WIB. Tujuan masuk sekolah lebih awal adalah untuk mendidik para pelajar agar bangun pagi dan tepat waktu datang ke sekolah.
“Tidak ada benturan antara aspek formal di sekolah dengan aspek kultur masyarakat. Kita siasati masuk sekolahnya jam enam pagi,” ujarnya.
Baca juga: "Kebijakan Sekolah 5 Hari Tidak Cocok di Pedesaan"
Dedi menilai, rencana konversi pendidikan madrasah diniyah ke pendidikan agama di sekolah formal oleh Mendikbud, akan mengalami kesulitan. Soalnya, pemberlakuan jam belajar selama delapan jam sehari akan membuat para pelajar kelelahan dan stres saat pulang ke rumah. Akibatnya, mereka tidak sempat mengikuti pelajaran agama di madrasah.
“Di Purwakarta malah seminggu bisa sampai 15 jam pelajaran agama. Semuanya lebih kepada penerapan aplikatif, seperti baca tulis Al Quran dan mendalami kitab kuning yang dilaksanakan sebelum siswa mempelajari pelajaran dalam kurikulum setiap harinya. Sedangkan untuk pelajar non muslim sama disediakan materi agama beserta gurunya sesuai dengan kepercayaannya masing-masing," pungkas Dedi.