Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mereka Bekerja di Akar Rumput demi Toleransi...

Kompas.com - 22/05/2017, 19:00 WIB

KOMPAS.com - Kegundahan terlihat di wajah Alissa Wahid, putri pertama presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid. Ia berujar dengan lirih dan pelan, namun penuh tekanan.

”Yuk, mari, kita bersama dengan komunitas-komunitas berbuat sesuatu untuk menguatkan lagi kebinekaan, merawat persaudaraan, dan meneguhkan kebangsaan.” Sebuah obrolan sore di Griya Gus Dur, Jakarta, pada akhir pekan lalu itu tidak saja hangat, tetapi juga penuh semangat.

Alissa sebagai Koordinator Umum Jaringan Gusdurian tidak saja mengajak komunitas Gusdurian yang sekarang ada di lebih dari 100 kota/kabupaten di Indonesia, tetapi semua komunitas masyarakat yang mengusung ghiroh kebangsaan. Baginya, masyarakat sipil harus menjadi perekat keretakan dalam keberagamaan dan keragaman yang ternodai oleh karut-marut politik.

Semua anggota komunitas Gusdurian yang lintas suku bangsa, usia, dan agama itu berkarya dengan sukarela. Komunitas diperbolehkan menerima dana dari masyarakat dalam bentuk donasi atau kerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat untuk menghidupi program. Namun, anggota komunitas dilarang berpolitik praktis dan berkegiatan untuk tujuan politik praktis dengan membawa nama Gusdurian.

Komunitas Gusdurian, yang embrionya muncul beberapa bulan setelah Gus Dur wafat pada 30 Desember 2009, kini sudah menyebar ke sejumlah daerah. Komunitas Gusdurian Banyumas, misalnya, Sabtu (20/5) lalu menggelar acara Bangkitlah Indonesiaku untuk memperingati Hari Kebangkitan Nasional di Alun-alun Kota Purwokerto, Jawa Tengah. Acaranya flash mob Goyang Maumere, parade lagu-lagu nasional, pidato kebangsaan, dan doa bersama lintas iman.

Manajer Media Sekretariat Nasional Gusdurian Heru Prasetia menggambarkan banyaknya kegiatan yang dilakukan komunitas-komunitas di daerah. ”Beberapa hari lalu ada diskusi di Bojonegoro. Tanggal 23 Mei ini bincang tentang Pancasila di Kebumen. Rabu pekan lalu ada kongko bareng Gusdurian Bone di STAIN Watampone, Sulawesi Selatan,” katanya sambil mencontek Instagram.

Gusdurian fokus pada pemberdayaan masyarakat, penguatan masyarakat sipil, diseminasi gagasan Gus Dur, produksi pemimpin sosial melalui program pengembangan kapasitas, serta advokasi pada isu-isu strategis.

Menolak terkotak

Upaya menyemai rasa persatuan di tengah kebinekaan juga didengungkan oleh sejumlah komunitas anak muda lainnya dengan berbagai cara.

Seperti di satu sudut Kafe Antalogi, Yogyakarta, pertengahan Mei lalu, sejumlah anak muda dengan ditemani dua piring roti, sekotak bakpia, dan bergelas-gelas kopi bersenda-gurau sembari duduk melingkar mengitari sebuah meja kayu. Di atas meja itu, beragam buku bertumpuk. Mereka ini anggota Klub Baca Buku Jogja.

Sore itu mereka membaca buku Hari-hari Terakhir Bersama Soeharto karangan Emha Ainun Nadjib. Karin (20) membacakan satu bab berjudul ”Indonesia Bangsa Paling Kuat”, yang menyerukan optimisme agar rakyat Indonesia menggalang persatuan, tanpa pandang bulu, demi mengasah anak panah perubahan. Perjuangan membangun bangsa adalah perjalanan panjang.

”Percayalah, meskipun Pak Harto diganti ping telungatus (tiga ratus kali), keadaan tetap akan gini-gini saja jika kita tidak mau mengubah sikap mental diri kita,” begitu Karin membaca.

Anggota Klub Baca Buku Jogja berlatar belakang suku dan agama berbeda. Namun, perbedaan itu tidak menjadi halangan untuk berbagi kecintaan yang sama terhadap buku.

”Yang penting sama-sama suka baca,” ujar Sholahudin Nurazmy, pendiri komunitas Klub Baca Buku Jogja, lalu menegaskan narasi mereka: ”pokoke maca (pokoknya baca)”.

Mereka rutin berkumpul saban bulan. Genre buku yang dibaca beragam, fiksi dan nonfiksi, tema romansa hingga esai dan kritik sosial. Kebiasaan membaca secara tidak langsung mendobrak konservatisme dan memperluas cakrawala berpikir.

Halaman:
Baca tentang



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com