Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bocah-bocah Ini Belajar di Sekolah Sambil Menggendong Adiknya

Kompas.com - 03/05/2017, 12:12 WIB

MEDAN, KOMPAS.com – Boisman Gori,  baru duduk di kelas lima sekolah dasar. Setiap masuk ke kelas tak jarang dia sambil menggendong adiknya.

Gori tinggal di Puncak Lolomatua, dataran tertinggi di Kabupaten Nias Selatan, Sumatera Utara.

"Saat saya mengajar, dia (Gori) selalu memeluk dan mencium kepala adiknya,” cerita Indri Rosidah, kepada Tribun Medan,  Selasa (2/5/2017).

Indri merupakan alumnus Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) yang sedang mengikuti program Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal (SM3T) yang mengajar di Puncak Lolomatua.

Selain Gori, di tempat perempuan asal Bandung ini mengajar, ada Latina Ndruru. Bocah perempuan ini juga kerap membawa adik bungsunya ke sekolah.

Latina anak ketiga dari tujuh bersaudara, kehidupan orangtuanya cukup memperihatinkan.

“Lantai rumah orang tuanya Latina masih tanah. Artinya, tidak gunakan semen sebagaimana rumah kebanyakan orang. Kemudian dinding rumahnya masih tepas, beratap rumbia dan rumah mereka paling dekat dengan sekolah ini,” kata Rosidah.

Dibandingkan Latina, rumah Gori cukup lumayan, karena sudah berlantai semen dan beratap seng. Gori dan Latina membawa adik mereka ke sekolah bila kedua orangtua mereka ke ladang untuk menyadap getah ataupun pergi ke pasar.

"Anaknya penuh kesadaran, dan tabah hidup dalam keadaan serba kekurangan. Saya terkesima melihat kondisi siswa-siswi di sini,” sebut Indri.

Baca juga: Demi Sekolah, Para Siswa Terpaksa Seberangi Jembatan Gantung Lapuk Setiap Hari

TRIBUN MEDAN/JEFRI SUSETIO Boisman Gori, siswa kelas V SD Puncak Lolomatua, Ulonoyo, Kabupaten Nias Selatan, kerap membawa menggendong adiknya ke sekolah, sementara orangtuanya menyadap karet atau pergi ke pasar.
Jarang yang Berbahasa Indonesia

Indri mengaku masyarakat yang sangat ramah dan menghormati pendatang berbeda suku dan keyakinan, membuatnya kerasan mengajar di Puncak Lolomatua.

“Saya menikmati suasana di sini, kebetulan saya tinggal di rumah warga dan respons masyarakat sangat bagus," sebutnya.

"Saya orang pertama Muslim yang tinggal di kampung ini. Awalnya takut tapi alhamdulilah, tidak ada kesulitan apapun,” tambah dia.

Sudah delapan bulan dia menjadi peserta program SM3T dan mengajar di Puncak Lolomatua. Selama itu ia sedikitnya memahami bahasa lokal. Awal mengajar, bukan main bingungnya Indri karena banyak murid tak bisa berbahasa Indonesia.

Berbilang hari, minggu dan bulan, Indri paham murid-murid tak pandai berbahasa Indonesia karena orang tua mereka pun tak bisa. Hanya mereka sering bepergian ke kota yang dapat berbahasa Indonesia.

Baca juga: Aathifah, Siswa Kelas 1 SD Sudah Membaca 127 Buku dalam 6 Bulan

Halaman Berikutnya
Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com