SEMARANG, KOMPAS.com - Ketua Tim Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) untuk Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih Rembang, San Afri Awang, menjelaskan alasan mengapa pabrik semen Indonesia di Rembang direkomendasikan untuk menunda operasional penambangan.
Hasil KLHS merekomendasikan kepada perseroan untuk menunda operasional penambangan, sembari menunggu kajian lanjutan dari Badan Geologi Kementerian ESDM.
Kajian secara mendalam diperlukan untuk memastikan kawasan CAT Watuputih boleh ditambang atau tidak.
"Kawasan CAT itu batu gamping iya, tapi tidak semua gamping itu karst. Kalau sudah status lanjut itu masuk Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK). Kalau daerah bukan KBAK, pasti bisa jadi bahan baku," kata San Afri Awang, di Rembang, Kamis (13/4/2017).
Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan ini menjelaskan bahwa setiap karst ada tingkatannya. Untuk karst berukuran lanjut ditandai dengan adanya ponor, dolina.
Contoh karst yang sudah terbentuk lama misalnya di kawasan wisata Raja Ampat.
Proses pembentukan karst tua juga jutaan tahun. Sehingga, untuk mengetahui status karst dari penampakan luar dilihat dari tanda. Tanda itu misalnya terkait sumber mata air yang mengalami kenaikan.
"Di CAT Watuputih ini ada 21 izin usaha pertambangan, saat ini luas tambangnya sudah 900 hektar. Karena ditambang, jadi ada pemusatan air hujan saat turun, air lalu mencari titik terendah. Air mengalir di mata air di Brubuhan, dan sumber semen. Maka di dua lokasi itu masih banyak," ujar Awang.
"Tapi, kalau ratusan hektar lagi ditambang pasti akan begitu. Itu yang dihitung tim KLHS. Contoh di Tuban belum tentu sama. Jadi ada ketidakpastian yang akan dihadapi, jadi pemerintah hati-hati. Maka perlu waktu tindak lanjut," kata dia.
(Baca juga: Izin Lingkungan Semen Rembang Bisa Dicabut Menteri, Jika... )
Isu penutupan pabrik
Awang juga menjelaskan soal posisi pabrik Semen Indonesia di Rembang. Menurut dia, pabrik bisa tetap beroperasi, namun saat ini tidak disarankan melakukan proses penambangan.
Ia menceritakan, aksi menolak penambangan tidak ada yang berbicara penutupan pabrik, tapi lokasi tambang. Isu menutup pabrik bergeser dari niat awal.
"Kalau minta ditutup itu tidak ada. Di depan Presiden, tidak dibicarakan penutupan pabrik. Kalau pabrik ditutup itu tidak relevan, makanya pabrik tidak diganggu," ujarnya.
(Baca juga: Ini Hasil Kajian Kementerian ESDM di Kawasan Semen Rembang)
Oleh karena itu, pihak perseroan diminta bersabar untuk menanti hasil kajian lanjutan. Operasi bisa memanfaatkan hasil tambang di luar zona kawasan.
"21 IUP itu jual ke Surabaya, Gresik. Ini dicarikan jalan sambil menunggu kepastian. Kalau daerah bukan KBAK, pasti bisa jadi bahan baku. Jangan korbankan alam untuk jangka pendek," ujar Awang.