Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengenal Wayang Suket dari Proses Pembuatannya

Kompas.com - 04/04/2017, 06:52 WIB
Andi Hartik

Penulis

MALANG, KOMPAS.com - Lentik jari Syamsul Subakri masih bekerja. Mengurut satu per satu rumput kering yang ada di tangannya, melipatnya, untuk kemudian dijadikan wayang.

Lelaki asal Kelurahan Ketawanggede, Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang yang biasa disapa Kardjo (Konservasi Asli Rakyat Diluar Jaringan Organisasi) itu dikenal sebagai pengrajin atau pelestari wayang suket atau wayang berbahan rumput.

Sudah ada ribuan siswa yang diajarinya untuk bisa menganyam rumput jadi wayang. Biasanya, rumput yang digunakan adalah rumput mendong, jenis rumput yang banyak tumbuh di pinggir sungai dan sering dipakai untuk bahan dasar tikar.

"Saya beri nama Puspa Salira, badan kecil yang terbuat dari bunga," ujarnya di sela-sela mengikuti pameran di Gedung DPRD Kota Malang, Senin (3/4/2017).

Dia menjelaskan, proses pembuatan wayang suket mengandung banyak nilai filosofis. Itulah mengapa ia kerap membuat wayang sambil menceritakannya. Atau ia mengadakan pertunjukan membuat wayang suket dengan penjelasannya. 

"Pertama jumlahnya (rumput yang dijadikan bahan dasar) tiga. Ini sebagai simbol dari ati (hati), lathi (ucapan) dan pakarti (perilaku)," katanya.

(Baca juga: Wayang Suket Ikut Dimakamkan bersama Jenazah Ki Slamet)

 

Panjang masing-masing rumput harus sama, yakni 100 jari atau sekitar satu meter. Angka 100 diambil dari jumlah penanggalan Jawa, kehidupan manusia, alam, dan proses penciptaannya.

"Membuatnya saja sudah ada nilai-nilainya," ujarnya sambil tertawa kecil.

Kemudian, tiga rumput yang memiliki panjang sama itu dilipat tengah. Kemudian dipotong. Jadilah rumput enam bagian. "Dipotong jadi enam. Enam ini lah yang kita jadikan bahannya," jelasnya.

Proses anyamannya dimulai dari membuat hidung. Menurutnya, hidung adalah penanda kehidupan. "Bahasa Jawanya, 'irung, iso urung' (bisa gagal)," katanya.

Kemudian anyaman dilanjutkan dengan membuat mata, kepala, kemudian rambut. Dari bagian ke bagian, Kardjo terus menceritakan maknanya. Dia menyebut, membuat wayang kulit memang harus sambil bercerita atau menjelaskan maknanya.

"Jadi wayangnya jadi, ceritanya selesai," tuturnya.

Pembuatan dilanjutkan ke bagian pundak. Di bagian ini, Kardjo tiba-tiba mengatakan 'pujimu ojok mong pendak' (doamu jangan hanya saat butuh). Setelah selesai di pundak, Kardjo melanjutkan ke lengan dan ke bagian dada.

(Baca juga: Reza Purbaya, Penjaga Terakhir Wayang Golek Betawi)

Di bagian ini, Kardjo mengeluarkan peribahasa tentang umat beragama. "Ini turun ke dada. Podo-podo umati gusti kang moho suci'(sama - sama umat Tuhan Yang Maha Suci)," katanya.

Lalu anyaman dilanjutkan ke bagian perut. Perut dalam bahasa Jawa disebut 'weteng' atau ojok ngeliwet barang kang peteng (jangan menanak beras kalau asalnya tidak jelas).

Halaman:



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com