MANADO, KOMPAS.com - TR harus didampingi petugas kesehatan yang menangani penyakitnya saat sesi wawancara. Dia masih terlihat malu dan sedikit tertutup, namun mau berbagi cerita atas apa yang dialaminya.
Desember 2016, ibu rumah tangga dengan satu anak ini diberhentikan dari pekerjaannya. Padahal dia sudah bekerja di salah satu swalayan besar di Manado itu sejak 2011. Penyebabnya adalah karena dia didiagnosa penyakit kusta.
"Itu tanggal 14 Desember, saya disuruh istirahat (berhenti). Saya hanya menerima gaji seminggu saat diberhentikan," ujar TR, Selasa (14/3/2017).
Perempuan berusia 27 tahun ini sendiri sebelumnya tidak tahu kalau dia punya gejala kusta. Pasalnya, bercak merah akibat serangan bakteri Mycobacterium leprae, penyebab kusta itu ada di bagian bokongnya. Tersembunyi sehingga tidak terlihat.
"Saya memang tidak terlalu memperhatikan, karena tersembunyi. Tapi bagian itu mulai terasa kaku," tutur TR.
Dokter perusahaan tempat dia bekerja, yang mengamati perubahan wajah TR, lalu memeriksanya. Hasil pemeriksaan itu kemudian dikirimkan ke laboratorium. Hasil periksa laboratorium memberi kepastian bahwa TR menginap penyakit kusta. Dia pun harus menelan kenyataan pahit.
Wajah TR sewaktu sesi wawancara itu menyiratkan beban yang harus dipikulnya kala itu. Tak menduga kalau dia menginap penyakit yang ditakuti orang, dia harus pula menerima kenyataan tidak diterima lagi di tempat kerjanya.
"Beruntung suami dan keluarga menerima saya. Mereka paham, setelah saya berobat penyakit ini tidak akan menular," kata TR.
Stigma negatif yang melekat di masyarakat soal kusta, membuat penderita seperti TR mengalami ketidakadilan sosial, termarjinalkan, terbatas akses ekonomi. Anggapan bahwa kusta adalah penyakit kutukan, hasil dari dosa dan sangat menular membuat penderita terkucilkan. Anggapan yang salah itu bahkan terus melekat pada orang yang telah sembuh dari kusta.
"Kami menyebutnya orang yang pernah mengalami kusta (OYPMK) untuk mengganti sebutan eks penderita kusta," ujar Kepala Seksi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular dan Kritis Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Utara, dr Arthur R Tooy.
Penyebutan orang yang pernah mengalami kusta itu adalah bagian dari strategi agar penderita kusta yang sudah sembuh bisa lebih diterima masyarakat. Berbagai program pemberdayaan dan upaya mengintegrasikan orang yang pernah mengalami kusta dengan masyarakat luas juga dilakukan.
Kini penanganan penyakit kusta diserahkan ke Puskesmas dengan harapan agar lebih dapat menjangkau penderita yang cenderung menyembunyikan kondisi penyakitnya. Di setiap Puskesmas ada petugas kesehatan yang dilatih untuk menangani kusta.
"Obat-obat juga diberikan secara gratis tanpa dipungut biaya" ujar Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Sulut dr. Debbie Kalalo.
(Baca juga: Melawan Stigma Kusta, Jangan Kucilkan Mereka (2))