FERNANDO Pantow, seorang pemuda Kristiani dari Minahasa, baru saja berumur empat belas tahun ketika pertama kali bekerja sebagai penambang emas ilegal. Bahkan saat ini pun setelah delapan tahun berlalu, masih kuat dalam ingatan Fernando saat dia berdoa hendak turun ke lokasi penambangan untuk pertama kalinya hanya dengan menggunakan tali.
“Keadaannya gelap dan lembab. Setelah turun sampai dua belas meter, barulah kaki saya menginjak tanah lagi. Lalu saya berjalan kira-kira lima belas meter sampai mencapai lubang turunan kedua," kata Fernando.
Ia melanjutkan, "Saya harus mengulanginya lagi hingga dua kali sebelum mencapai permukaan batu—hampir 100 meter di bawah permukaan tanah. Di kedalaman itu tubuh saya berkeringat dan saya terengah-engah berusaha menghirup udara melalui selang yang terhubung dengan tabung oksigen rakitan.”
Putus sekolah gara-gara sakit tifus, Fernando lantas melewati waktunya selama enam tahun bekerja di banyak pertambangan emas ilegal yang lokasinya berseberangan dengan kampungnya di Sulawesi Utara dan berdekatan dengan Gorontalo.
Mendulang emas di lokasi yang jauh dari kampungnya di Kanonang, Fernando bekerja untuk membantu orangtuanya, petani yang tak memiliki lahan, yang berjuang hidup di perbukitan yang selalu basah karena hujan, sekitar dua jam perjalanan ke arah barat laut dari ibukota provinsi yang selalu sibuk, Manado, yang saat ini dijuluki sebagai Bali kedua.
Sebuah pemandangan, dengan perkebunan bambu, sawah, dan kebun buah yang tumbuh subur dan hijau. Namun, kenyataannya untuk mendapatkan kehidupan yang layak amatlah sulit dan masalah yang ada pun begitu kompleks, terutama untuk mereka yang tak memiliki lahan pertanian sendiri, seperti diceritakan Fernando.
“Itulah mengapa banyak orang menjadi penambang ilegal. Saya akan mendapat uang meskipun berulang kali saya berpikir, saya akan mati. Maka saya selalu berdoa, menyerahkan hidup saya kepada Tuhan,” ucapnya.
Fernando bercerita bagaimana ketika dia pertama kali bekerja dengan tubuh menggigil. “Saya belum sembuh benar dari tifus waktu paman saya datang dan mengajak untuk bergabung dengannya, bekerja di pertambangan. Saya bilang ya, lalu ikut dengannya. Di pekerjaan pertama, kami ditipu sama bos, tapi setelah itu, saya mulai mendapatkan uang yang jumlahnya lumayan, paling sedikit Rp 1,5 juta per bulan,” katanya.
“Kami bekerja secara tim. Kami setia dengan teman kami, tapi tidak dengan bos kami. Kami saling menjaga satu sama lain karena hidup kami saling bergantung: ‘Torang Samua Ba’sudara’ (Kita semua bersaudara).”
“Kami tak cuma menggali emas. Kami juga memecah dan memproses bijihnya, lalu mencampurnya dengan air dan merkuri. Jika ada emasnya maka ia akan memadat dan kami harus membersihkan merkurinya dengan tangan dan kain kasa,” lanjut Fernando.
Ketika saya bertanya apakah itu tidak berbahaya, dia menjelaskan, kalau dia hanya menyentuhnya. “Saya tidak pernah meminumnya!” katanya.
Namun pertambangan bukanlah pekerjaan yang benar-benar nyaman. Bukan cuma soal sering terjadinya kecelakaan ketika bekerja, pada 2015 di kawasan pertambangan Gorontalo seringkali pekerja tambang diserang sekelompok preman.
“Saat itulah saya merasa sudah cukup bekerja di penambangan emas. Saya putuskan untuk diam di rumah dan menjadi pemandu wisata saja untuk membantu orangtua. Sekarang Mama saya sudah memiliki rumah sendiri dan kami pun beternak babi. Ketika mereka sudah besar, kami bisa menjualnya di harga Rp 7-8 juta per ekor,” katanya.