Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Gubernur Maluku: Fakta Kebinekaan Telah Menjadi Jati Diri Orang Maluku

Kompas.com - 27/02/2017, 00:24 WIB
Rahmat Rahman Patty

Penulis

AMBON, KOMPAS.com - Gubernur Maluku, Said Assagaff, mengungkapkan fakta kebinekaan yang menjadi perekat kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia telah menjadi identitas dan budaya orang Maluku selama ini.

“Bagi kami orang Maluku, fakta kebinekaan yang ada sudah merupakan bagian dari identitas kebudayaan kami,” ungkapnya di acara penutupan Tanwir Muhammadiyah di Gedung Islamic Centre Ambon, Minggu (26/2/2017).

Dia mengungkapkan, dari perspektif historis, sebagai the spices island  (pulau rempah-rempah), yang menghasilkan beraneka rempah-rempah sejak dahulu, Maluku sudah menjadi tempat perjumpaan pelbagai peradaban di dunia serta terbangun jalinan Nusantara.

Nusantara terbukti telah menjadi wilayah kontestasi pelbagai kepentingan dagang dan politik dunia, terutama Portugis, Spanyol, Inggris, Belanda, Jepang, Arab, China, dan India.

“Kondisi ini telah menjadikan Maluku sebagai masyarakat yang sangat multikultural. Kami memiliki kurang lebih 100 subsuku dan subetnik, 117 buah bahasa dan dialek, selain 6 agama resmi dan agama-agama suku,” ungkapnya.

Dia menyebutkan, keberagaman itu dapat dilihat dari marga atau fam yang ada di Maluku. Selain ada ratusan marga atau fam lokal, terdapat juga puluhan hingga ratusan marga yang merupakan akulturasi dengan budaya luar.

Misalnya, kata Said, dari keturunan Sulawesi Selatan menggunakan fam Bugis atau Makassar, dari Sulawesi Tenggara menggunakan inisial La atau Wa, dari Sumatera menggunakan marga Padang, Palembang.

“Dari Arab ada yang pakai fam Al-Idrus, Basalamah, Attamimi, Bahsoan, dan Assagaff seperti saya. Dari Belanda ada yang pakai fam marga Van Afflen, Van Room, De Kock, Ramschie, Payer, dll," kata Said.

Ia meneruskan, "Dari Portugis ada yang pakai fam Da Costa, De Fretes, De Lima, Fareire. Said mengaku, dari hasil akulturasi itulah muncul pelbagai khazanah seni budaya di daerah Maluku.

Misalnya akulturasi budaya lokal dengan Islam atau Arab, seperti Abda’u di Tulehu, Pukul Sapu di Mamala-Morela, Tarian Sawat, dan sebagainya.

Akulturasi budaya lokal dengan Arab dan Melayu seperti tarian dana-dana. “Sementara akulturasi budaya lokal dengan Barat, seperti tari katreji, musik Hawaian, tarian oralapei, dansa ola-ola, dan tarian cakaiba," katanya.

"Walaupun berbeda, kami semua merasa bersaudara atau orang basudara,” papar Said. Dia mengungkapkan indahnya merawat persaudaraan sejati di Maluku dapat dilihat pada dukungan dan partisipasi aktif seluruh umat beragama dalam kegiatan Tanwir Muhammadiyah di Kota Ambon.

“Saudara-saudara umat beragama lain, terutama umat Kristen tidak hanya terlibat sebagai panitia tetapi juga aktif mengisi pelbagai rangkaian kegiatan, salah satunya seperti keindahan paduan suara yang kita saksikan hari ini. Itulah Maluku sesungguhnya. Walaupun berbeda tetap Beta Maluku jua,” ujarnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com