Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Alwy Rachman, Teman Diskusi Aktivis Makassar

Kompas.com - 18/02/2017, 07:00 WIB

Penulis

MAKASSAR, KOMPAS.com - Mendefinisikan Alwy Rachman (62) seperti mengurai benang kusut. Sastrawan, budayawan, penulis, aktivis, hingga pengamat politik menjadi sederet julukan bagi pengajar Fakultas Ilmu Budaya dan Sastra Universitas Hasanuddin, Makassar, ini.

Yang jelas, berbagai pengetahuan di kepalanya ia gunakan untuk mendidik, bukan mendikte.

Jarum jam sudah menunjukkan angka 23.00, Jumat (11/11/2016). Namun, Alwy masih sibuk berdiskusi dengan sejumlah alumnus Universitas Hasanuddin (Unhas).

Ditemani mesin cetak berumur puluhan tahun di ruangan Lembaga Penerbitan Unhas (Lephas), mereka membicarakan literasi. Direktur Lephas ini juga menerima permintaan tanda tangan untuk buku hasil karyanya.

Sekitar 10 meter dari ruangan itu, belasan mahasiswa Unhas berlatih menulis reportase. Sesekali Alwy mengunjungi ruangan yang dipenuhi poster seruan memperjuangkan petani dan warga miskin kota tersebut.

Ruangan berukuran 2 meter x 4 m itu sesak oleh papan tulis, meja, hingga buku-buku gerakan sosial, politik, filsafat, dan novel yang berserakan di lantai beralas karpet serta spanduk.

Meski sederhana, ruangan tersebut menjadi wadah mahasiswa belajar advokasi, pendampingan hukum, juga riset. Isu dalam kampus, seperti penggusuran pedagang kecil (dikenal sebutan ’mace’) dan mahasiswa yang terancam drop out, mereka garap.

Bahkan, mereka juga menggarap dukungan advokasi terkait reklamasi pantai di Makassar, hingga petani yang terancam digusur dalam pembangunan Bandara Internasional Jawa Barat di Majalengka.

Ruangan itu merupakan sekretariat Lembaga Advokasi Mahasiswa (LAW) Unhas. Itulah ”hadiah” Alwy, sebagai Direktur Lephas Unhas kepada segelintir mahasiswa yang haus akan ilmu.

Sejak 2012, ruangan itu menjadi ruang belajar baru mahasiswa dari berbagai disiplin ilmu.
Di sanalah, Alwy berdiskusi bersama mahasiswa sedari sore hingga hari berganti. Tidak ada biaya kuliah tambahan alias gratis.

Buku-buku yang berserakan di mobilnya kadang kala menjadi bahan diskusi harian para mahasiswa.

Suasananya cair. Para mahasiswa kebanyakan memanggilnya ”Kak Alwy”, bukan Bapak Alwy. Tidak jarang pula ia menjadi peserta diskusi dengan pemateri seorang mahasiswa.

Pengetahuan memang tak selalu datang dari sang dosen. ”Asupan ilmu datang dari mahasiswa. Mereka memberi inspirasi lewat pertanyaan,” ujar Alwy yang mulai mengajar di Unhas sejak 1979.

Baginya, mahasiswa harus ”dikalahkan” dengan pengetahuan, bukan otoritas dosen. Dengan demikian, mahasiswa akan terpacu untuk membaca dan kembali berdiskusi. Itulah sebabnya, hampir setiap malam di sekretariat LAW selalu dipenuhi mahasiswa yang ”ketagihan” diskusi.

Alwy pun dengan senang hati memenuhi permintaan mahasiswa Unhas ataupun mahasiswa kampus lain, seperti Universitas Negeri Makassar dan Universitas Islam Negeri, untuk memberikan materi seputar sastra, budaya, hingga gerakan sosial.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com