Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ikan di Maluku untuk Siapa?

Kompas.com - 09/02/2017, 16:00 WIB
Frans Pati Herin

Penulis

KOMPAS - Bau asin basah berpadu hawa sejuk menyambut nelayan. Diantar subuh, beberapa perahu mungil berbahan fiber segera bertolak ke Laut Seram mengejar fajar pagi. "Kebanyakan semua perahu masih utang," ujar Yadi Bustan (42), nelayan Desa Kawa, Kecamatan Seram Barat, Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku, Januari lalu.

Yadi Bustan (42), nelayan asal Desa Kawa, Kecamatan Seram Barat, Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku, memancing anak tuna dan cakalang di Laut Seram, sekitar 22 mil laut (40,74 kilometer) dari Kawa, Sabtu (14/1/2017). Nelayan lokal di daerah itu minim sarana prasarana perikanan.

Hampir semua perahu di Desa Kawa seragam. Panjangnya 7 meter, lebar 1,2 meter, dan tinggi 0,7 meter. Perahu berukuran 0,5 gros ton didorong mesin dengan kapasitas 15 tenaga kuda. Perahu hanya bisa mengangkut maksimal dua orang dengan muatan ikan tak boleh lebih dari 500 kilogram. Kompas yang mengikuti perjalanan Yadi tak banyak bergerak. Duduk, tak boleh berdiri, apalagi berjalan, bisa oleng dan tenggelam.

Yadi lincah memainkan ritme laju perahu dan menggiring haluan meliuk di atas punggung gelombang. Saat haluan dihardik gelombang setinggi 1,5 meter, air bertempias. Basah kuyup. Belum lagi kalau hujan dan angin. Perahu tak punya atap untuk berteduh. Cuaca memang tak pernah kompromi meski perjalanan menuju sarang ikan cukup jauh. Dari darat sekitar 22 mil laut (40,74 kilometer).

Tekanan ekonomi di darat menuntut mereka tak boleh gentar menghadapi cobaan di laut yang menawarkan rezeki dan kadang mendatangkan musibah. "Banyak teman-teman tenggelam di sekitar sini. Biasanya mayat dan perahu tidak pernah ditemukan. Mungkin ada hantu laut," ujar Yadi saat perahu merayap di Tanjung Pamali. Sontak membangunkan bulu kuduk. Merinding. Langit masih gelap, baru setengah perjalanan menuju lokasi mancing.

Utang perahu seharga hampir Rp 40 juta dari tengkulak berikut bunga di atas 15 persen yang harus dicicil setiap bulan memompa nyali mereka. Siap menantang gelombang, menadah hujan, dan melawan angin. Belum lagi kebutuhan sekolah anak, kesehatan, dan makan sehari-hari. Hasil tangkapan tidak menentu. Mereka berangkat pukul 03.00 WIT dan pulang ke darat paling cepat pukul 17.00 WIT. Kompas menemani Yadi di tengah Laut Seram selama 14 jam.

Sering kali mereka bermalam di tengah laut jika hasil tangkapan belum cukup, jauh di bawah biaya bahan bakar. Satu kali perjalanan dibutuhkan sekitar 50 liter premium. Harga satu liter di pengecer Rp 10.000. Tak ada kartu nelayan yang bisa membantu mereka mendapatkan premium subsidi. Beberapa tahun terakhir, mereka harus bertolak lebih jauh karena ikan-ikan di pesisir sudah disapu bersih kapal-kapal besar selama bertahun-tahun.

Saat menggembirakan akhirnya tiba ketika fajar pecah. Anak tuna dan cakalang bermain di atas kulit air hingga sisi perahu. Yadi melepas tali pancing dengan 30 gantungan mata kail. Sekali tarik, lebih dari 20 ekor tersangkut kail. "Ikan sedang lapar," ujarnya tersenyum lebar. Ia membawa pulang sekitar 150 kilogram ikan campuran dengan panghasilan sekitar Rp 600.000. Jika perahunya lebih besar dan bisa diisi pemancing lain, tentu hasil tangkapan lebih banyak.

Hujan berpadu angin dan gelombang mengantar perjalanan pulang. Perahu mulai oleng. Mulut perahu dan permukaan air terpaut kurang dari 15 sentimeter. Yadi mengingatkan agar tak perlu panik. Jika tenggelam, ada dua jeriken minyak yang bisa menolong sesaat sebelum akhirnya ditolong atau mati tenggelam.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com