Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Yuwono, Guru Pijat ”Lulusan” Monas

Kompas.com - 31/01/2017, 16:12 WIB

KOMPAS.com - Pijat tradisional menarik hati Onny Arifin Yuwono. Memulai karier sebagai tukang pijat jalanan dengan upah seikhlasnya di kawasan Monumen Nasional, Jakarta, Yuwono terus berkembang. Ia mendirikan sekolah pijat yang kini telah menyebar hingga ke beberapa daerah. Keahlian memijat akhirnya membawanya keliling Indonesia, bahkan ke luar negeri.

Yuwono sejak dulu gemar dipijat dan belajar memijat. Karena itu, ketika berhenti bekerja di bidang pariwisata dan uang pesangonnya ludes, ia langsung berpikir terjun ke dunia pijat tradisional pada awal 2000-an. Ia tidak malu meski saat itu mengantongi ijazah sarjana ekonomi (akuntansi) dari Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya.

Pria yang murah senyum itu pun meninggalkan keluarga di Madiun, Jawa Timur, menuju Jakarta untuk menjadi pemijat. Menjelang akhir pekan, ia selalu beroperasi di kawasan Monumen Nasional (Monas). ”Tempatnya di sekitar lapangan refleksi dekat kandang rusa. Tapi sekarang sudah tidak ada lagi, dilarang,” cerita Yuwono saat ditemui pada pertengahan Desember lalu di Jakarta.

Calon pelanggan mengenali Yuwono dari selembar kertas yang ditaruh di atas tas ransel miliknya. Kertas itu bertuliskan: tukang pijat! Kegiatan pijat-memijat itu dilakukan di udara terbuka dengan hanya menghamparkan terpal plastik sebagai alas pijat. Yuwono memijat bersama sekitar 20 pemijat pinggir jalan lainnya.

Bayaran untuk mereka jumlahnya tak tentu, bergantung pada kebaikan hati pelanggan. Biasanya pelanggan membayar Rp 20.000. Dalam sebulan, Yuwono bisa memijat lebih dari 100 orang. Pelanggannya pada akhir pekan bisa 15 orang per hari.

”Kami mengandalkan kertas tulisan pijat sambil duduk manis menanti pelanggan. Demonstrasi selalu jadi sumber rezeki buat kami. Kami bisa memijat pengunjuk rasa hingga tentara. Kalau Monas sepi, kami lari ke sekitar Masjid Istiqlal mencari pelanggan. Sekarang sudah dilarang.”

Berbeda dengan kebanyakan pemijat lainnya, Yuwono tekun belajar. Di sela-sela waktu senggangnya, ia rajin membaca buku tentang aneka teknik pijat. Yuwono yang tidak lahir dari keluarga pemijat sangat yakin bahwa ilmu pijat bisa dipelajari dan terus dilatih.

Tidak hanya dari buku, ia juga berusaha mendalami ilmu memijat dari lembaga kursus atau sekolah khusus. Namun, ia kesulitan mendapatkan lembaga yang mengajarkan pijat tradisional. ”Dulu belum ada sekolah pijat. Saya nyari saja enggak ada.”

Dari situ, Yuwono berpikir untuk mendirikan sekolah pijat. ”Jadi tukang pijat pun harus punya mimpi,” katanya.

Sekolah pijat

Ia pun berusaha mati-matian untuk mewujudkan mimpinya. Duit yang diperoleh dari hasil memijat di jalanan ia kumpulkan lalu digunakan untuk mendirikan kursus pijat. Pada 2010, Yuwono akhirnya berhasil mendirikan sekolah pijat bernama Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Pijat Sehat (LP3S) sekaligus tempat pijat.

Ia pun mengakhiri kariernya sebagai tukang pijat jalanan dan memulai karier sebagai guru pijat dan pengelola tempat pijat tradisional.

”Ternyata gampang bikin sekolah pijat dan menguntungkan. Jadi pemijat, 100 pasien cuma dapat Rp 3 juta. Dengan jadi guru, saya bisa dapat lebih banyak uang,” ujar Yuwono.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com