Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Petani Ambon Taklukkan Puncak Cartensz dan Kinabalu

Kompas.com - 23/01/2017, 06:40 WIB
Rahmat Rahman Patty

Penulis

AMBON, KOMPAS.com - Penampilan Handoko sekilas tampak seperti petani biasa. Sehari-hari, lelaki berusia 39 tahun itu menggarap lahan seluas 1,5 hektar di dataran Waeapo, Buru, Maluku.

Sebagai petani buah dan sayur-sayuran, hampir setiap hari dia bergumul dengan tanah dan pupuk di kebun.

Pada waktu tertentu, Handoko juga berjibaku dengan tebing-tebing tinggi. Mendaki gunung-gunung tinggi adalah obsesinya. Tidak tanggung-tanggung, dia sudah menggapai puncak tertinggi Malaysia dan Indonesia.

Bermodalkan tekad dan semangat kuat, ia berhasil menapakkan kaki di puncak tertinggi Indonesia, Cartensz Pyramid di Papua, pada 14 Januari 2017.

Pencapaian yang tidak bisa dilakukan banyak orang itu dia raih dengan gemilang, setelah menempuh perjalanan kaki selama tujuh hari menembus belantara rimba Papua.

Perjalanannya dimulai dari perkampungan Suaggama sebagai titik start berjalan kaki. Perjalanan kemudian melewati jalur Jambusiga camp – Endasiga camp – Ebay Camp – Nasidome camp – Basecamp Danau-danau – Puncak Cartensz, dan kembali lagi melewati jalur yang sama.

Menggapai puncak Carstensz, bagi Handoko, bukan mengenai pendakian gunung semata. Dimulai dengan menembus hutan lebat dan padang rumput dengan total perjalanan kaki selama 12 hari.

Ia dan sesama pendaki juga berinteraksi dengan suku-suku di pedalaman Papua yang natural serta masih mempertahankan cara hidup tradisional.

"Jalur pendakian menembus hutan dan padang rumput hingga memanjat tebing karang (limestone) adalah bagian terberat yang harus dilewati," kata Handoko di Ambon, Sabtu pekan lalu.

Ia mengisahkan, rombongan pendaki harus melewati jalur sungai, tanah berlumpur, dan menipir tebing curam, lalu masuk ke daerah padang yang terbuka dan panas.

Sebelum sampai di puncak, mereka harus memanjat tebing setinggi 700-an meter lebih dengan memakai tali.

"Mendaki puncak Cartensz bukan hanya soal keberanian serta kesiapan fisik dan mental, tapi juga membutuhkan teknik khusus untuk bisa sampai ke puncak," kata dia.

Kondisi semakin berat ketika berada di lereng tebing Cartensz. Es yang menyelimuti punggungan hingga puncak dengan suhu berkisar di bawah nol derajat Celsius dan kadar oksigen yang kian menipis membuat pendaki harus pandai-pandai menjaga mental dan stamina tubuh.

Penyakit ketinggian seperti hipotermia adalah salah satu ancaman nyata yang bisa sewaktu-waktu berubah menjadi kematian.

Saat mendaki puncak Cartensz, Handoko tidak sendiri. Ia bersama enam rekannya datang dari daerah berbeda-beda di Indonesia. Muhidin Parapat asal Jakarta, Onet dari Makassar, serta Henny, Parman, Dian dan Irman dari Pontianak.

Empat rekannya asal Pontianak dari Mapala Universitas Tanjungpura kebetulan sedang melaksanakan misi ekspedisi menembus puncak tertinggi Indonesia.

Bersama kawan-kawan sehobi itu, Handoko sukses mencapai titik tertinggi Indonesia pukul 08.08 WIT. Diawali dengan summit attack pada pukul 02.00 dini hari dengan pemanjatan tebing menggunakan tali di tengah malam buta.

Ketika sampai di tyrolean dan jembatan tiga tali, Handoko hanya seorang diri karena pemandu sedang mendampingi rekan-rekannya yang masih di belakang.

Tidak ada pilihan lain, dia harus menyeberangi jembatan dari tiga tali yang membentang panjang di atas jurang setinggi ratusan meter.

Para pendaki dituntut berjalan di atas satu utas tali, sedangkan dua tali lainnya berfungsi sebagai tempat pegangan dan pengait carabiner yang terhubung dengan pita webing dan harness yang wajib dikenakan oleh semua pendaki.

Handoko mengaku, selain jembatan tiga tali, ada juga pilihan menyeberang dengan menggunakan teknik tryrolean traverse, yakni penyeberangan dengan bergelayut pada tali yang membentang dari satu sisi tebing ke sisi seberangnya.

Di Cartensz, sudah ada kawat yang dipasang permanen untuk penyeberangan tyrolean maupun jembatan tiga tali dengan jarak penyeberangan sekitar 15 meter.

"Bila hanya berdiam diri sambil menunggu teman-teman lain, kondisi tubuh saya akan semakin dingin dan kaku karena sarung tangan dan jaket sudah basah semua, dan ini justru berbahaya. Mau tidak mau, saya harus terus bergerak dan menyeberangi sendiri jembatan tiga tali hingga ke puncak," tuturnya.

Setiba di puncak tertinggi Indonesia tersebut, aktivis Perhimpunan Kanal Ambon ini disambut udara dingin dengan suhu minus 3 derajat Celsius. Saat itulah kali pertama ia merasakan sensasi hujan salju.

Bagi Handoko, Cartensz Pyramid adalah puncak tertinggi yang pernah dia daki. Sebelumnya, pada 2014, ia bersama empat rekannya dari Perhimpunan Kanal Ambon mendaki puncak tertinggi Malaysia, Gunung Kinabalu dengan ketinggian 4.095,2 mdpl.

"Sensasinya berbeda. Di Kinabalu, pendaki dimanjakan dengan banyak fasilitas dan jalur pendakian yang sudah tertata baik. Sementara di Papua, medan yang didaki benar-benar buat petualang karena masih alami dan minim fasilitas. Di Cartensz Pyramid, kita juga berkesempatan melihat salju di puncaknya," ujar alumni Fakultas Ekonomi Universitas Darussalam Ambon ini.

Mencapai puncak Cartensz di Papua adalah pencapaian prestisus bagi Handoko. Tempat ini karena bukan saja tertinggi di Indonesia, tetapi juga di benua Australia, dan menjadi salah satu dari tujuh puncak tertinggi di tujuh benua.

Karena itu, puncak Cartensz menjadi incaran para pendaki dunia. Di kawasan pegunungan sekitar Cartensz Pyramid, masih banyak puncak lain yang juga menarik untuk direngkuh.

Puncak Jaya (4,864m), Puncak Sumantri (4,870m), dan Cartensz Timur (4,813m) yang masih memiliki gletser atau es terakhir yang tersisa.

Ada pula puncak Idenburg (4,730) yang pertama kali kehilangan gletsernya. Gletser di pegunungan yang berada di garis equator atau khatulistiwa ini semakin menyusut akibat pemanasan global.

Hanya ada tiga tempat di dunia yang ada saljunya di area khatulistiwa. Selain di Jayawijaya, ada juga Kilimanjaro di Tanzania (Afrika), dan pegunungan Andes di Peru (Amerika Latin).

Es yang selama ini menyelimuti puncak Cartensz dan puncak lainnya di Pegunungan Jayawijaya diprediksi akan menghilang. Ini karena massa es di puncaknya semakin menipis. Saat ini penyusutan gletser berada pada status yang merisaukan.

"Tingginya temperatur udara akibat pemanasan global mengakibatkan gletser-gletser es ini terancam mencair dan hilang," kata Handoko.

Mahal

Mendaki Cartensz Pyramid, bagi Handoko, bukan sekadar perjuangan mencapai puncak. Butuh pengorbanan materi yang tidak sedikit. Biaya yang harus dia keluarkan mencapai Rp 35 juta.

Angka ini bisa bertambah, seandainya dia harus membeli lagi perlengkapan khusus gunung es yang harganya tidak murah.

Kebetulan dua juniornya di organisasi Perhimpunan Kanal Ambon pernah mendaki gunung es sehingga peralatan yang dibutuhkannya bisa dipinjam.

Dua juniornya, yakni Azis Tunny pernah mendaki Kilimanjaro di Afrika pada 2013 dan Bayu Djatmiko mendaki Cartensz Pyramid pada akhir 2016.

Menurut Handoko, ongkos Rp 35 juta dari Ambon menuju Cartensz masih tergolong murah. Normalnya bisa mencapai Rp 55 juta hingga Rp 65 juta per orang. Ini belum termasuk belanja peralatan dan logistik pribadi.

Untunglah operator guide mereka, Bob Sumoked, adalah sahabat mereka yang rela memberikan paket pendakian dengan harga pertemanan, jauh lebih murah dari biasanya.

"Biaya sangat mahal untuk mendaki puncak Cartensz karena biaya hidup di Papua sangatlah mahal. Biaya porter kami Rp 6 juta per orang karena per harinya dibayar Rp 500.000," ujarnya.

Handoko dan kawan-kawannya menggunakan jasa 14 porter, semuanya penduduk asli Papua.

Pengeluaran lainnya untuk transportasi, akomodasi, dan biaya-biaya lain yang sangat mahal di Papua.

Tantangan lainnya tidak kalah seru. Pendaki Cartensz, baik yang melewati jalur Sugapa maupun Ilaga, biasanya dihadang warga setempat yang meminta sejumlah uang untuk bisa terus melanjutkan perjalanan.

Uang palang, sebagaimana istilah mereka, sudah menjadi hal lumrah dalam pendakian puncak Cartesnz. Ini terjadi apabila ingin melewati jalur perkampungan warga.

Selama perjalanan, Handoko dan rekan-rekannya empat kali merogoh kocek untuk membayar uang palang.

Baru saja tiba di bandara Sugapa di Kabupaten Intan Jaya, mereka sudah melepas Rp 3 juta. Demikian pula dalam perjalanan antara Sugapa dan Suaggama, Rp 3 juta melayang untuk uang palang. Sisanya, saat perjalanan balik dari puncak.

Setiba di camp Jambusiga, mereka harus membayar uang palang kepada warga sebesar Rp 500.000 di jalan. Terakhir saat tiba di Bandara Sugapa untuk balik ke Nabire, harus membayar lagi Rp 600.000.

"Mendapat pemintaan untuk bayar uang palang dari warga menjadi tantangan tersendiri buat kami. Dibutuhkan kemampuan negoisasi. Kalau tidak, kita bisa bayar lebih mahal. Mereka biasaya meminta Rp 10 juta, tinggal bagaimana kita melakukan penawaran," ujarnya.

Bagaimana jika tidak mau membayar? Bersiaplah untuk tidak mendapat kesempatan jalan untuk lewat.

Selain jalur Sugapa atau Ilaga, mendaki Cartensz bisa melewati jalur Timika atau jalur tambang PT Freeport Indonesia.

Para pendaki yang naik ke puncak Cartensz akan lebih dekat dan mudah bisa melewati jalur Freeport dibanding lewat jalur kampung Sugapa dan Ilaga. Waktu yang dibutuhkan hanya hitungan jam.

Dari Kota Timika, dua jam naik mobil ke Tembagapura. Lalu, naik trem yang hanya hitungan menit sudah sampai di Grasberg.

Perjalanan dilanjutkan dengan naik mobil sekitar 20 menit menuju Bali Dam, yakni batas akhir wilayah Freeport. Dari sini, tinggal jalan kaki sekitar dua jam, dan sampailah di Basecamp Danau-Danau di ketinggian 4.261 mdpl. Memang sangat cepat, tapi risikonya juga besar.

Jika melewati jalur tambang Freeport, kondisi tubuh akan terkena masalah aklimatisasi, yakni penyesuaian kondisi tubuh dengan ketinggian.

Mendadak pergi dari ketinggian ratusan meter di Timika, lalu secara cepat beralih ke ketinggian 4.000-an meter bisa berakibat pusing-pusing, muntah sampai pingsan karena acute mountain sickness (AMS) atau biasa disebut penyakit gunung.

Karena itu, butuh waktu dua hingga tiga hari buat penyesuaian tubuh sebelum ke puncak untuk melalui jalur ini.

Pendaki wajib melakukan aklimatisasi, yakni proses penyesuaian dengan ketinggian, di mana seorang pendaki ketika sudah mencapai ketinggian tertentu harus turun kembali agar terhindar dari mountain sikness.

Ini berbeda dari pendaki yang lewat jalur kampung. Mereka pelan-pelan menyesuaikan diri dengan ketinggian.

Selain itu, para petualang sejati biasanya lebih suka memilih jalur Sugapa atau Ilaga karena tantangan medannya yang tidak gampang.

Masalah lainnya, PT Freeport Indonesia tidak mudah memberikan akses pendakian karena memiliki prosedur keamanan ketat.

Sebagai kawasan tambang, Freeport tertutup untuk jalur pendakian wisata. Biasanya, para pendaki bisa melintasi jalur ini kalau terkait event tertentu, seperti peringatan 17 Agustus atau liputan media televisi dan itu telah memenuhi syarat serta ketentuan ketat.

Target Seven Summits Indonesia

Untuk membiayai hobinya yang tergolong mahal itu, Handoko tidak pernah mencari sponsor, baik dari swasta maupun pemerintah. Tabungannya dari hasil berkebun selama ini mengantarnya menggapai puncak-puncak tinggi yang menjadi impian para pendaki Indonesia, bahkan dunia.

Khusus untuk mendaki Cartensz, dia mendapat dukungan dari rekan-rekannya di Perhimpunan Kanal Ambon.

"Banyak orang yang ingin mendaki Cartensz sebenarnya punya kesempatan, juga punya uang dan waktu. Hanya saja, niat mereka masih belum terlalu kuat untuk mewujudkan mimpinya. Ini hanya soal niat, kesempatan, dan rezeki. Selebihnya menjadi urusan Tuhan untuk mewujudkan mimpi kita," kata Handoko merendah.

Minatnya pada aktivitas alam bebas dimulai saat pertama kali bergabung dengan organisasi pencinta alam Perhimpunan Kanal Ambon pada 1996.

Selain mendaki Kinabalu di Malaysia, dia sudah mendaki sejumlah puncak gunung tinggi di atas 3.000 meter di Indonesia, yakni empat kali mendaki Binaya (tertinggi di kepulauan Maluku), Latimojong (tertinggi di Sulawesi), Rinjani (tertinggi di Nusa Tenggara dan Bali), Kerinci (tertinggi di Sumatera), Leuser (tertinggi di Provinsi Aceh), dan Sibela (tertinggi di Kepulauan Maluku Utara).

Setelah sukses mencapai puncak tertinggi Indonesia, obsesi Handoko selanjutnya menyelesaikan misi pendakian tujuh puncak tinggi Indonesia.

Dia sudah menyelesaikan pendakian ke lima puncak tingggi, hanya tinggal Semeru (tertinggi di Jawa) dan Bukit Rayat (tertinggi di Kalimantan) yang harus didakinya untuk menjadi summiters Indonesia.

"Bila tidak berhalangan, saya ingin menyelesaikan tujuh puncak tinggi Indonesia di tahun 2017. Ini bukan soal menjadi summiters Indonesia, tapi ini obsesi setiap pendaki Indonesia dan mudah-mudahan bisa saya wujudkan,” kata Handoko.

Selain tujuh puncak tinggi Indonesia, ia ingin sekali mendaki puncak sejati Gunung Raung di Jawa Timur untuk menggenapi pendakian empat gunung ekstrem Indonesia.

Tiga gunung yang masuk kategori ekstrem untuk didaki sudah dia taklukkan. yakni Cartensz Pyramid, Binaya (jalur Moso), dan Leuser.

Karena konsistensi dan semangatnya yang bisa memberikan inspirasi bagi para pendaki lain, Handoko saat ini dipercaya menjadi Koordinator Pendaki Indonesia Wilayah Maluku.

Mayoritas masyarakat tentu akan berpendapat minor soal kegiatan pendakian, seperti halnya dilakukan Handoko. Mendaki, bagi sebagian orang yang tidak paham, akan menilai hanya buang waktu, buang biaya, atau mencari lelah saja.

Namun, bagi pegiat alam bebas yang senantiasa bergelut dengan alam, akan mengerti dan paham bagaimana rasanya mengendalikan diri dan menghadapi tekanan mental serta fisik saat berada di alam liar dan medan berbahaya.

Jutaan rupiah yang dikeluarkan, rasa lelah, stres medan, bahkan putus asa ketika menghadapi kerasnya pendakian akan tergantikan seketika dengan pengalaman luar biasa dan kepuasan batin yang hanya bisa dimiliki seorang pendaki ketika berhasil mencapai puncak.

Seperti halnya Soe Hok Gie, yang gemar mendaki gunung hingga menjemput ajalnya di puncak Semeru, menurut Handoko, berpetualangan di gunung adalah arena untuk melatih keberanian dan menghadapi kerasnya kehidupan.

"Mereka yang memahami arti keberanian, perjuangan, pengorbanan dan kebersamaan, yang akan mengerti kenapa kami harus mendaki gunung. Mendaki gunung membuat kami lebih memahami makna kebesaran Tuhan. Mendaki gunung membuat kami lebih menghormati hidup," kata Handoko.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Pj Gubri Ajak Pemkab Bengkalis Kolaborasi Bangun Jembatan Sungai Pakning-Bengkalis

Pj Gubri Ajak Pemkab Bengkalis Kolaborasi Bangun Jembatan Sungai Pakning-Bengkalis

Regional
Diskominfo Kota Tangerang Raih Penghargaan Perangkat Daerah Paling Inovatif se-Provinsi Banten

Diskominfo Kota Tangerang Raih Penghargaan Perangkat Daerah Paling Inovatif se-Provinsi Banten

Regional
Fakta dan Kronologi Bentrokan Warga 2 Desa di Lombok Tengah, 1 Orang Tewas

Fakta dan Kronologi Bentrokan Warga 2 Desa di Lombok Tengah, 1 Orang Tewas

Regional
Komunikasi Politik 'Anti-Mainstream' Komeng yang Uhuyy!

Komunikasi Politik "Anti-Mainstream" Komeng yang Uhuyy!

Regional
Membedah Strategi Komunikasi Multimodal ala Komeng

Membedah Strategi Komunikasi Multimodal ala Komeng

Regional
Kisah Ibu dan Bayinya Terjebak Banjir Bandang Berjam-jam di Demak

Kisah Ibu dan Bayinya Terjebak Banjir Bandang Berjam-jam di Demak

Regional
Warga Kendal Tewas Tertimbun Longsor Saat di Kamar Mandi, Keluarga Sempat Teriaki Korban

Warga Kendal Tewas Tertimbun Longsor Saat di Kamar Mandi, Keluarga Sempat Teriaki Korban

Regional
Balikpapan Catat 317 Kasus HIV Sepanjang 2023

Balikpapan Catat 317 Kasus HIV Sepanjang 2023

Regional
Kasus Kematian akibat DBD di Balikpapan Turun, Vaksinasi Tembus 60 Persen

Kasus Kematian akibat DBD di Balikpapan Turun, Vaksinasi Tembus 60 Persen

Regional
Puan: Seperti Bung Karno, PDI-P Selalu Berjuang Sejahterakan Wong Cilik

Puan: Seperti Bung Karno, PDI-P Selalu Berjuang Sejahterakan Wong Cilik

Regional
Setelah 25 Tahun Konflik Maluku

Setelah 25 Tahun Konflik Maluku

Regional
BMKG: Sumber Gempa Sumedang Belum Teridentifikasi, Warga di Lereng Bukit Diimbau Waspada Longsor

BMKG: Sumber Gempa Sumedang Belum Teridentifikasi, Warga di Lereng Bukit Diimbau Waspada Longsor

Regional
Gempa Sumedang, 53 Rumah Rusak dan 3 Korban Luka Ringan

Gempa Sumedang, 53 Rumah Rusak dan 3 Korban Luka Ringan

Regional
Malam Tahun Baru 2024, Jokowi Jajan Telur Gulung di 'Night Market Ngarsopuro'

Malam Tahun Baru 2024, Jokowi Jajan Telur Gulung di "Night Market Ngarsopuro"

Regional
Sekolah di Malaysia, Pelajar di Perbatasan Indonesia Berangkat Sebelum Matahari Terbit Tiap Hari

Sekolah di Malaysia, Pelajar di Perbatasan Indonesia Berangkat Sebelum Matahari Terbit Tiap Hari

Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com