Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Opa Yem dan Pisang Gorohonya..

Kompas.com - 17/01/2017, 05:40 WIB

Tim Redaksi

MANADO, KOMPAS.com - Meski usianya sudah 87 tahun, Jemyy Albert Polii, yang biasa disapa Opa Yem masih terlihat kuat mengurus kebun pisangnya di Aer Panas, Malalayang, Manado.

Saat ditemui di kebunnya, Senin (16/1/2017), Opa Yem masih terlihat gagah, dan berpenampilan rapih. Ditemani istrinya, Opa Yem sedang memilin jagung yang juga merupakan hasil dari kebunnya.

"Saya mulai menanam pisang sejak tahun 60an. Dulu lahan kebun sekitar dua hektar," kata Opa Yem.

Dengan luas lahan sebesar itu, Opa Yem mengaku bisa menanam pisang dari jenis goroho (Musa acuminafe,sp) hampir 1.000 pohon.

"Sudah beberapa jenis pisang yang dicoba, tetapi goroho yang terbaik. Tapi sekarang kebunnya sudah kecil, karena sudah dibagi ke anak-anak, dan sebagian sudah dibeli orang untuk dibangun rumah," ujar Opa Yem.

Dengan lahan sisanya saat ini, Opa Yem masih setia menanam pisang goroho itu sekitar 100 pohon. Lebih dari 50 tahun menjadi petani pisang goroho, Opa Yem telah mampu menyekolahkan 7 anaknya, hingga menjadi mandiri.

Di antara 7 anaknya itu, ada yang saat ini menjabat sebagai rektor di sebuah perguruan tinggi swasta di Manado. Ada pula yang menjadi pejabat di PLN. "Ada yang satu sudah jadi gembala (pendeta). Semua itu ya, berkat pisang goroho ini," cerita Opa Yem sambil tertawa.

Pisang goroho, merupakan salah satu jenis pisang khas Sulawesi Utara dam sangat digemari masyarakat. Pisang ini lebih enak dipanen sebelum matang, kemudian digoreng menjadi kripik.

Pisang goroho juga enak direbus dan disantap dengan dabu-dabu roa (sambal khas Manado). Di pasaran, harga pisang goroho cukup stabil, karena memang petani pisang goroho tidak sebanyak jenis pisang lainnya.

"Saya sudah punya pelanggan. Mereka yang datang ambil disini. Kadang juga ambil dari pohonnya langsung. Satu tandan harganya sekitar Rp 30.000 sampai Rp 40.000," jelas Opa Yem.

Dulunya, dia membawa sendiri buah pisang goroho ke pasar. Opa Yem mengenang, kala daerah tempat tinggalnya sekarang masih berupa hutan. "Yang ada cuma jalan buat roda sapi (gerobak). Tapi kini, semuanya sudah dibangun rumah, termasuk di kebun saya," cerita dia sambil tertawa.

Di usianya yang sudah lanjut itu, Opa Yem bertekad untuk terus melanjutkan usaha kebunnya. Dia mensyukuri bahwa semua yang dia rasakan saat ini merupakan berkat dan anugerah Tuhan.

"Tidak bisa berhenti biar sudah tua. Anak-anak berpesan yang penting jangan memaksakan diri," katanya.

Opa Yem berharap ketekunan dan kesetiaannya akan pekerjaan serta rasa syukur kepada Tuhan, bisa menjadi motivasi bagi generasi muda saat ini.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com