Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

87 Tahun Keragaman Budaya Melebur dalam Pasar Gede Solo

Kompas.com - 12/01/2017, 19:49 WIB
Kontributor Surakarta, Michael Hangga Wismabrata

Penulis

SOLO, KOMPAS.com - Para pedagang di Pasar Gede Solo membagikan nasi tumpeng untuk warga dan gelar acara kesenian untuk merayakan hari jadi ke-87 pasar tersebut, Kamis (12/1/2017).

Pasar Gede Solo menjadi saksi bisu akulturasi budaya Tionghoa dan Hindu pada masa Majapahit serta Islam pada pemerintahan Kerajaan Mataram.

Suasana meriah tampak di halaman Pasar Gede Solo pada siang tadi. Para pedagang meninggalkan sejenak dagangannya untuk membagi-bagikan nasi tumpeng kepada warga di sekitar pasar.

Pasar di jantung Kota Solo, Jalan Suryopranoto, tersebut menyimpan banyak cerita dan menjadi saksi pertemuan budaya di Kota Solo.

Wiharto, Ketua Paguyuban Pedagang Pasar Gede Solo, menjelaskan, pada awalnya ada lapangan terbuka dengan sebuah Candi Padurasa untuk kegiatan masyarakat Hindu Majapahit.

Lokasi tanah lapang tersebut tidak jauh dari pemukiman warga Tionghoa di sekitar Kali Pepe. Interaksi dan transaksi perdagangan pun terjadi.

"Saat itu masyarakat Tionghoa memanfaatkan Kali Pepe untuk mengangkut barang dagangan mereka dengan perahu. Semakin lama, banyak pedagang yang berhenti di tanah lapang tersebut dan tak lama kemudian pedagang menggelar barang dagangan mereka di tempat tersebut," kata Wiharto.

Pada 1927, Raja Kasunanan Surakarta Paku Buwono X memerintahkan seorang arsitek asal Belanda, Herman Thomas Karsten, untuk membangun pasar dan perkantoran di atas tanah seluas 6.971 meter persegi.

"Setelah itu, pada akhir tahun 1929 Pasar Gede jadi dan diresmikan oleh PB X lalu digunakan pedagang untuk berjualan pada 12 Januari 1930," katanya.

Dalam perjalanannya, Pasar Gede sempat mengalami kebakaran pada 1947 saat Agresi Militer Belanda. Api kembali menghanguskan bangunan pasar pada 2000.

"Saat kebakaran tahun 2000, saat itu pemerintah hendak mengubah desain pasar seperti pasar modern. Namun, pedagang menolak rencana tersebut," kata Wiharto.

Peringatan ulang tahun ke-87 ini, menurut Wiharto, juga dimeriahkan dengan menggelar tarian Braja Gentta dan shalawat. Ucapan terima kasih kepada warga diwujudkan dengan berbagi nasi tumpeng.

"Tentunya sejarah berdirinya pasar ini tak lepas dari kebersamaan meski dari latar belakang budaya berbeda. Bisa kita lihat sampai saat ini, di dalam pasar, berbagai macam pedagang dan pembeli dari berbagai etnis membaur tanpa mempermasalahkan perbedaan," kata Wiharto.

Sementara itu, salah satu pedagang mengungkapkan harapannya agar Pasar Gede bisa tetap lestari dengan segala keunikannya.

"Sebagai warga Solo dan juga pedagang, tentunya bangga dengan salah satu warisan budaya berupa pasar," kata Yani (56).

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com