Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Karim Raslan
Pengamat ASEAN

Karim Raslan adalah kolumnis dan pengamat ASEAN. Dia telah menulis berbagai topik sejak 20 tahun silam. Kolomnya  CERITALAH, sudah dibukukan dalam "Ceritalah Malaysia" dan "Ceritalah Indonesia". Kini, kolom barunya CERITALAH ASEAN, akan terbit di Kompas.com setiap Kamis. Sebuah seri perjalanannya di Asia Tenggara mengeksplorasi topik yang lebih dari tema politik, mulai film, hiburan, gayahidup melalui esai khas Ceritalah. Ikuti Twitter dan Instagramnya di @fromKMR

Pak Teguh dan Sungai Musi

Kompas.com - 12/01/2017, 13:40 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorTri Wahono

SAYA berada di sebuah getek – perahu mesin sepanjang enam meter yang berbentuk ramping dan terbuat dari kayu – menyusuri Sungai Musi yang keruh. Dengan panjang 750 km, Sungai Musi adalah sungai terpanjang di Sumatra yang airnya bersumber dari pegunungan di sebelah barat Bengkulu. Jembatan Ampera yang berwarna coklat muda kemerah-merahan berada belakang kami, dan Pak Teguh, pengemudi perahu yang berumur enam puluh empat tahun ini membawa saya menjauh dari pasar Enambelas Ilir.

Kami menuju desa Pak Teguh, Kampung Tiga Ulu yang letaknya di sisi yang jauh dari sungai. Ini adalah perjalanan yang menarik karena kami berlayar melewati kapal-kapal besar, kapal-kapal penarik berikut tongkangnya, kapal-kapal feri dan macam-macam kapal lainnya.

Dataran luas di pantai timur Sumatra ditandai dengan serangkaian sungai-sungai besar yang penuh dengan endapan lumpur: Kampar, Batanghari dan Siak. Namun, Sungai Musi, tempat Kerajaan Sriwijaya dahulu lahir di tepian sungainya, tetap menjadi area yang paling dinamis secara ekonomi sampai hari ini, serta diwarnai sejarah dan legenda.

Sejenak saya menutup mata saya, membayangkan diri saya sebagai seorang wisatawan pada abad ke-7 (atau barangkali sebagai pedagang rempah-rempah dan kayu cendana), yang singgah di ibu kota Sriwijaya, Palembang, setelah melakukan perjalanan selama sebulan dari Guangzhou.

Saya sedang dalam perjalanan menuju kota Bengali di Nalanda, yang lebih dikenal sebagai pusat pengetahuan Buddha yang dihormati. Kemudian ada seorang biarawan muda dalam rombongan saya - seorang pria bernama Yijing ("I Ching") yang kelak menjadi penerjemah kitab Buddha yang terkenal di China, yang kedatangannya selalu diterima dan dirayakan oleh Permaisuri Wu Zetian—permaisuri yang ditakuti dan dicerca oleh banyak orang di Luoyang sekitar tahun 695.

Dahulu sebuah pusat perdagangan, pengetahuan dan industri, sejarah Palembang terkait dengan semua kerajaan besar di Nusantara dan di luar, mulai dari Ayudhya, Khmer ke Malaka dan Majapahit, belum lagi Chola dari India bagian selatan, serta China Dinasti Tang dan Song di China.

Sekarang ini sebagai sebuah kota dengan mayoritas penduduk beragama Islam, Palembang memiliki masa lalu yang luar biasa seperti pelabuhan perdagangan lainnya. Setelah kepergian Parameswaran dan kejatuhan Sriwijaya, kota Palembang dikuasai oleh para pembajak laut Cina, yang kemudian diserang oleh Laksamana Cheng Ho dari Dinasti Ming. Bahkan, Inggris sempat menjarah Palembang. Namun, tiba-tiba lamunan saya berakhir dan dalam sekejap saya kembali pada realita.

Kami pun tiba di kampung Pak Teguh. Salah seorang putranya, Anshori melompat ke ponton dan mengamankan keteknya, kemudian memandu kami untuk turun dari perahu. Gaya bicara Pak Teguh amatlah tenang. Setelah menghabiskan waktu berjam-jam menunggu penumpang, dia pun tetap tenang.

"Saya sudah tinggal dan bekerja di tepi Sungai Musi sejak 1970. Sejak saya berumur delapan belas tahun.”

Ketika saya bertanya bagaimana perubahan hidupnya selama bertahun-tahun, dia menjawab: "Hidup kami sama saja, tidak ada perbedaan."

KARIM RASLAN Pak Teguh telah bekerja di pinggiran Sungai Musi sejak tahun 1970 ketika ia baru berusia 18 tahun. Sungai ini merupakan tempat mata pencahariannya, yang membantunya mendapatkan Rp 100.000 di hari baiknya.
Tentu saja untuk keluarga seperti keluarga Pak Teguh yang tidak memiliki kualifikasi pendidikan atau jaringan untuk mendapatkan pekerjaan di pemerintah daerah, mereka tidak merasakan dampak dari pertumbuhan PDB sebesar 6 persen yang dicapai kota Palembang dengan total 1,6 juta penduduk.

Misalnya, jalur LRT sepanjang 24 km dari Bandara Internasional Sultan Mahmud Badaruddin II ke Jakabaring yang melewati sungai, dan menghabiskan biaya sebesar Rp 12,59 triliun (yang dipersiapkan untuk Asian Games 2018) belum berhasil menyediakan banyak pekerjaan. Anshori kemudian menjelaskan, "Untuk bekerja pada proyek LRT membutuhkan pelatihan khusus. Jadi sebagian besar pekerja proyek tersebut berasal dari luar Palembang."

Hanya satu dari enam anak laki-laki Pak Teguh yang lulus SMP, sisanya bahkan tidak lulus sekolah dasar. Dengan keluarganya yang besar (dia juga memiliki 10 cucu), Pak Teguh harus bekerja keras. Dia bisa mendapat Rp 100,000 pada hari yang baik, tetapi di hari-hari yang sepi (seperti di luar musim liburan) penghasilannya tak jauh dari Rp 50,000. Ketika Anda memperkirakan pengeluaran keluarganya lebih dari Rp 3.000.000 per bulan, hidup sangatlah sulit bagi keluarga Pak Teguh. Dia bahkan tidak punya telepon genggam — kecuali istri dari anak sulungnya punya.

Pak Teguh membeli perahu pertamanya dari hasil tabungannya selama tiga tahun berdagang. Jika dia ingin menggantinya saat ini, dia harus mengeluarkan biaya Rp 20 juta. Dia berharap dapat mewariskan perahu tersebut kepada keturunannya.

Kondisi kehidupan Pak Teguh ini tentu tidak mencerminkan peningkatan kesejahteraan yang dialami warga Palembang lainnya, yang bisa memperoleh sedikitnya Rp 2.484.000, (upah minimum kota Palembang), sedikit lebih tinggi dibandingkan kota-kota di Jawa Timur seperti Malang (Rp 2.272.167) atau Jombang (Rp 2.082.730).

Rumah panggungnya yang kecil penuh sesak dengan pakaian, tikar dan bantal, tetapi semua dilipat dengan rapih dan disimpan. "Tempat ini dulunya rawa. Tidak ada yang mau tinggal di sini. Tapi setelah beberapa tahun, orang-orang yang bekerja di Palembang pindah kemari karena rumah di tepian sungai lebih murah.”

Ketika saya bertanya apa harapannya untuk masa depan, dia menuturkannya secara sederhana: "Yang saya inginkan hanyalah kehidupan yang lebih baik untuk anak-anak saya dan mereka bisa mendapatkan pekerjaan tetap."

Mungkin ada pengemudi-pengemudi perahu seperti Pak Teguh yang telah mengarungi Sungai Musi selama berabad-abad. Jika kita melihat perjuangannya sehari-hari untuk bertahan hidup dan menjaga martabatnya, nasib mereka pada hari-hari ini masih jauh dari kekayaan Indonesia di zaman modern ini, bahkan sangat jauh dari kemegahan Sriwijaya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com