MAGELANG, KOMPAS.com - Harga cabai yang merangkak naik sebulan terakhir tidak serta merta membuat para petani senang. Sebab, harga yang tinggi ternyata tidak menjamin mereka mendapat untung yang lebih besar pula.
Nur Waluyo (44), petani asal lereng Gunung Merapi, Desa Polengan, Kecamatan Srumbung, Kabupaten Magelang, mengatakan, meski harga tinggi, namun tidak sebanding dengan jumlah produksi cabai di lahan pertanian mereka.
"Harga cabai mahal tapi tidak serta merta kami (petani) senang. Harga di pasaran Rp 60.000 - 80.000 per kilogram, tapi produksi cabai sangat rendah. Kalau pun untung tipis sekali," kata Nur.
Baca juga: Di Raja Ampat, Harga Cabai Rawit Rp 200.000 Per Kg
Nur berujar, dalam satu batang pohon saat ini rata-rata hanya mampu menghasilkan 0,3 kilogram cabai. Padahal idealnya, satu pohon harus menghasilkan sekitar 0,5 - 1 kilogram cabai.
Kondisi tersebut disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satunya karena faktor anomali cuaca yang tidak menentu belakangan ini.
"Curah hujan yang tinggi, lalu angin, itu berpengaruh dengan kondisi tanaman. Ada yang busuk, ada yang terserang hama, virus, dan sebagainya," kata Nur.
Tidak hanya itu, tanaman cabai termasuk tanaman yang membutuhkan modal dan biaya perawatan yang tidak sedikit. Untuk menaman cabai, petani harus membeli musa (plastik) penutup tanah yang harganya sekitar Rp 37.000 per kilogram. Padahal, untuk lahan 1.000 meter persegi setidaknya membutuhkan sekitar 20 kilogram musa.
Lalu lanjaran (batang kayu) yang harganya sekitar Rp 675 per batang, pupuk dasar, serta ongkos tenaga mencangkul rata-rata Rp 1 juta.
"Totalnya untuk modal tanam cabai rata-rata sekitar Rp 7 juta. Tapi kalau hujan terus hasil panen akan rendah, 5-10 kali panen. Normalnya bisa panen 20 kali," ungkapnya.
Di Desa Polengan sendiri ada sekitar 3-5 hektar lahan yang ditanami cabai. Sebagian besar kondisi tanaman tidak baik, ada yang membusuk, ada juga yang terserang hama.
Perlu inovasi
Anggota Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Ngudi Makmur Srumbung itu mengutarakan, untuk tetap bertahan di saat kondisi tersebut, maka petani harus mampu berinovasi.
Seperti dirinya yang memilih untuk memakai pupuk alami atau organik demi merawat tanaman cabainya daripada memakai pupuk kimia.
Dikatakan, pola menanam yang masih menggunakan cara konvensional justru akan merugikan petani. Sebab, produksi tanaman akan terus rendah.
"Pupuk alami, tidak akan merusak tanah, sehingga masa panen akan baik seterusnya. Sebaliknya, kalau pakai pupuk kimia (pestisida), maka residu pupuk akan merusak dan bertahan lama di dalam tanah. Hasil tanaman justru sedikit dan tidak berkualitas," papar Nur.
Nur menggunakan pupuk yang ia racik sendiri, yakni campuran fermentasi dari kotoran sapi, arang sekam yang kaya kalium, bakteri dan air kelapa.