Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sekolah "Indonesia Mini" di Kota Batu

Kompas.com - 05/01/2017, 08:01 WIB

Oleh Dahlia Irawati


KOMPAS.com - "Saat lahir, kita tidak pernah bisa memilih untuk menjadi China, Jawa, Muslim, Nasrani, Hindu, Buddha, atau lainnya. Kita hanya bisa menjalaninya hingga ujung usia. Yang membedakan manusia adalah tindakannya. Biar langit yang akan mencatat, apakah kita nanti bertemu di surga atau di neraka."

Demikian ucapan Julianto Eka Putra (44), pendiri sekolah gratis SMA Selamat Pagi Indonesia di Bumiaji, Kota Batu, Jawa Timur, pertengahan Desember 2016.

Ucapan itu merujuk pada kerisauan Julianto atas apa yang terjadi di Indonesia belakangan ini. Sentimen agama, suku, perbedaan fisik dan pandangan seakan mengotak-ngotakkan masyarakat dan mengancam keutuhan bangsa ini.

Kerisauan seperti itu pernah dirasakan Julianto belasan tahun lalu. Ia ingat, Reformasi 1998 dibayar mahal dengan tragedi kemanusiaan berlatar belakang suku, agama, ras, dan antar-golongan (SARA).

Tahun 2000, saat memberikan motivasi anggota multilevel marketing (MLM) di tempatnya bekerja, Julianto mengucapkan keinginan untuk membangun sekolah gratis pada 2010. Ikrar itu sempat dipertanyakan rekan-rekan dan keluarganya. Modal apa yang akan digunakan untuk membangun lembaga pendidikan itu? Namun, lelaki itu percaya, niatnya bakal terwujud.

Keyakinan itu mengetuk hati rekan-rekan Julianto. Mereka menyisihkan 5 persen pendapatan (baik pribadi maupun perusahaan) setiap bulan demi membantu mewujudkan "proyek" sekolah gratis itu. Tahun 2003 terkumpul uang Rp 900 juta. Namun, harga tanah yang diincar saat itu mencapai Rp 5,3 miliar.

Di luar dugaan, Julianto mendapat pinjaman uang Rp 5,3 miliar dari bos MLM Singapura tempatnya bekerja. Modal itu pula yang kemudian dibelikan tanah seluas 3,3 hektar di Bumiaji, Kota Batu, untuk lokasi sekolah. Utang itu lunas dikembalikan pada 2011.

Kota Batu dipilih karena udaranya sejuk. Itu sesuai dengan konsep sekolah asrama yang memang dirancang tidak berpenyejuk ruangan (AC). Dengan begitu, ongkos operasional menjadi lebih ringan.

Waktu berjalan. Tekad membangun sekolah gratis seperti tenggelam di tengah kesibukan Julianto. Lalu, pada 2005, lelaki itu tersentak oleh berita di koran. Seorang anak bunuh diri gara-gara tidak bisa membayar uang sekolah. Ia baca kabar tragis itu di Jawa Timur, kemudian di Jakarta, dua hari berturut-turut.

Sejak itu, Julianto mulai membangun asrama di lahan yang sudah dibelinya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com