Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Abdul Ghofir Nawawi, Guru Penjaga Kebinekaan Indonesia

Kompas.com - 25/11/2016, 07:50 WIB
Rosyid A Azhar

Penulis

GORONTALO, KOMPAS.com –  Dari pojok sekolah, KH Abdul Ghofir Nawawi yang memakai tongkat kayu mengamati ratusan siswanya yang berbaris. Ada kebanggaan dalam dirinya sebagai guru yang merintis sekolah ini.

Pria sepuh asal Cirebon, Jawa Barat, ini kemudian berkeliling melihat fasilitas sekolah. Sesekali tersenyum menyapa ramah para petani transmigran asal berbagi daerah yang melintas.

Abdul Ghofir Nawawi adalah perintis berdirinya kompleks sekolah dan pondok pesantren Salafiyah Syafiiyah di Desa Banuroja, Kecamatan Randangan, Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo. Daerah ini jauh dari pusat kota.

Semua itu berawal pada 1976 ketika Abdul Ghofir muda datang ke Kota Gorontalo. Ia adalah santri dari Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur.

Karena di Kota Gorontalo dianggap bukan daerah yang menantang, akhirnya ia membulatkan tekad berbaur dengan para transmigran asal berbagai daerah yang baru datang di Desa Manunggal Karya. Desa ini berbatasan dengan hutan, sebelum dimekarkan dengan Banuroja.

“Kondisi transmigran sangat memprihatinkan. Banyak yang buta huruf dan komunikasi antarmasyarakat tidak berjalan baik karena mereka menggunakan bahasa daerah masing-masing. Kemampuan bahasa Indonesia sangat terbatas," kata Abdul Ghofir, Kamis (24/11/2016).

Sejak melihat kondisi para transmigran pertama kali, Abdul Ghofir berinisiatif untuk membuat sekolah. Bagi dia, panggilan untuk menjadi guru tidak bisa ditunda.

Ia harus mendidik anak-anak agar berilmu dan mampu memecahkan kesulitan hidup yang dialami orangtua mereka.

Segera saja ia mengumpulkan anak-anak, ada 20 orang, dan dia bina dalam bangunan sederhana.

"Jangankan mikir pendidikan, mikir mau makan apa hari ini saja susah," kenangnya membayangkan masa lalu yang sangat sulit.

Pada musim kemarau panjang, para transmigran dari berbagai daerah ini sudah tidak memiliki persediaan beras atau bahan makanan lainnya di rumah. Ini menjadi masalah bersama seluruh warga desa. Mereka didera kelaparan.

Abdul Ghofir kemudian mengajak kaum pria menuju hutan tak jauh dari desa. Mereka mencari bitule atau gadung untuk dimakan.

Umbi beracun itu dikumpulkan sebanyak mungkin, diiris, lalu dijemur. Bitule kering ini akan menjadi persediaan makanan keluarga sambil terus mengumpulkan bitule dari hutan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com