Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ingin Hak Politik Kaum Difabel Lebih Diperhatikan, Penyandang Tunanetra Ini Bercita-cita Jadi Anggota KPU

Kompas.com - 28/10/2016, 09:09 WIB
Kontributor Banyuwangi, Ira Rachmawati

Penulis

BANYUWANGI,KOMPAS,com - Terlahir sebagai seorang tuna netra tidak membuat semangat belajar Ninis Ladytia (25) memudar.

Perempuan kelahiran Banyuwangi 26 Juli 1991 berhasil lulus dari Pendidikan Luar Biasa Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Surabaya dan saat ini mengajar di Yayasan Mata Hati, lembaga pendidikan yang khusus menangani anak anak tuna ganda di Kabupaten Banyuwangi.

Ditemui Kompas.com Kamis (27/10/2016), perempuan yang akrab dipanggil Ninis tersebut baru saja selesai mengajar dua muridnya yaitu Farel dan Iis.

"Saya mengajarkan membaca huruf braille kepada mereka. Kalau Iis selain tuna netra dia juga grahita. Tapi Farel, selain tuna netra dia juga tuna rungu dan tuna wicara jadi agak kesulitan kalau mengajar Farel," jelasnya.

Anak pertama pasangan Pujianto dan Lusiana menyelesaikan pendidikan SD dan SMP nya di sekolah luar biasa, dan baru di tingkat SMA dia menyelesaikannya di sekolah umum.

Saat duduk di bangku sekolah umum, dia merasa kesulitan untuk menyesuaikan dengan kegiatan belajar mengajar di kelas karena tidak ada fasilitas untuk membantu dia seperti guru pendamping.

"Yang ada saya yang dipaksa untuk mengikuti guru yang mengajar. Tapi saya menyadari karena saat itu sekolah saya masih belum inklusi baru integrasi jadi fasilitas untuk anak anak kebutuhan khusus belum ada. Untungnya saya dibantu teman teman terutama saat mengerjakan Lembar Kerja Siswa. Mereka biasanya membacakan dan membantu menuliskannya karena buku yang digunakan bukan braille," jelasnya.

Selain itu dia juga merekam suara guru yang mengajar dan akan memutarnya ulang saat pulang ke rumah.

"Paling sedih kalau sudah mata pelajaran yang berkaitan dengan angka seperi matematika dan kimia. Itu yang jadi kelemahan kawan kawan tuna netra karena kami kan sulit memahami tabel dan rumus rumus yang ada," katanya.

Selepas SMA, Ninis kemudian memutuskan untuk mengambil kuliah di Surabaya itu pun harus dia jalani seorang diri karena ibunya tidak bisa mengantar karena harus menjaga neneknya yang sakit.

Alasan kuat yang membuat dia memilih melanjutkan kuliah adalah dia ingin membuktikan jika dia bisa mandiri walaupun terlahir sebagai tuna netra. Saat ke Surabaya, dia hanya sekali diantar oleh ibunya untuk mengetahui kendaraan mana yang harus dinaiki agar sampai di kampus.

"Saya pernah diputer-puter sama angkot saat mau ke kampus Unesa buat daftar kuliah. Diputer-puter biar bayar angkotnya lebih mahal. Sempat sedih dan takut kalau ada apa-apa," ucapnya.

setelah dua kali gagal tes, Ninis baru diterima di tes yang ketiga dan ia kemudian resmi menjadi mahasiswa di Fakultas Ilmu Pendidikan. Saat menjalani tes masuk, Ninis sempat tidak diizinkan karena tidak ada pendamping. Ia lalu meminta agar pihak kampus menyediakan reader untuk mendampinginya.

"Alhamdulilah pendampingnya adalah dosen yang baik. Dia tanya saya nginap di mana. Setelah saya beritahu jika saya langsung pulang, dia menawarkan agar saya menginap di rumahnya biar enggak capek wira wiri Surabaya Banyuwangi yang lamanya hampir 7 jam kalau naik bus," katanya.

Awal kuliah pun dia mengalami masa berat. Ninis sempat dimarahi oleh salah seorang dosennya karena tidak pernah tanda tangan di lembar absen. Dia mengaku tidak mengetahui jika ada kewajiban tersebut, dan rekan-rekannya di kampus juga tidak ada yang memberitahu dia.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com