Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Dedi Mulyadi
Anggota DPR RI

Pernah menjadi tukang ojek, penjual beras, hingga peternak domba. Mantan Bupati Purwakarta yang kini anggota DPR RI.

Diantar, Dituntun, Dipikul, atau Digusur

Kompas.com - 29/09/2016, 12:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

KOMPAS.com — Manggul atau memikul adalah tradisi masyarakat untuk memindahkan barang atau benda dari satu tempat ke tempat lain.

Kebiasaan ini sudah bergeser seiring dengan perkembangan teknologi dengan digunakannya alat pendorong beroda. Namun, tetap saja memikul masih dibutuhkan untuk daerah persawahan, perbukitan, hutan, dan tempat-tempat tertentu yang tidak memungkinkan roda pengangkut digunakan.

Begitu juga dengan masyarakat kita, tidak semuanya bisa berjalan sendiri atau didorong, tetapi masih banyak yang harus dipikul agar mereka terselamatkan.

Jadi, istilah orang Sunda bahwa pemimpin itu adalah “pamanggul” ternyata masih relevan. Tinggal pertanyaannya, masih mampukah pundak kita untuk memikul?

Persoalan yang dipikul saat ini memiliki keanekaragaman beban dan karakter. Apabila yang dipikul ini diibaratkan karakter, maka ada keragaman karakter yang dimiliki.

Ada karakter masyarakat yang jangankan dipikul, dituntun pun dia tak perlu karena sudah mampu berjalan sendiri, bahkan bisa mengajak orang lain, bisa memikul atau menggendong orang lain.

Ada juga golongan masyarakat yang bisa berjalan, tetapi tidak mengerti ke mana arah perjalanannya, maka tugas pemimpin harus memandu mereka.

Kita juga kerap menemui kelompok masyarakat yang tidak mampu berjalan, maka pemimpin harus menggendong atau memikulnya.

Pemkab Purwakarta Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi bersama petani
Proses memikul, menggendong, dan memandu sering kali dibarengi oleh karakter yang berbeda-beda. Ada yang pemarah, ada yang manja, dan ada yang pemalas.

Ketika karakter masyarakatnya pemarah, sering kali sang pemimpin harus berakrobat untuk meredakan kemarahannya, bahkan harus memperlihatkan bahwa pemimpin pun bisa lebih marah dibanding rakyatnya. Dalam bahasa Sunda, ini disebut paluhur-luhur tangtung.

Sementara itu, untuk karakter masyarakat yang manja, pemimpin harus memperbanyak hadiah pada seluruh aspek kebijakannya, dan dalam jangka panjang, proses kesadaran harus dilakukan seiring dengan pendewasaan dirinya.

Dalam bahasa Sunda, karakter demikian disebut kundang kuru, yang bermakna mau disuruh atau diajak bila ada hadiah yang dijanjikan.

Untuk karakter masyarakat yang pemalas, pemimpin harus lebih sabar lagi karena segala sesuatunya harus selalu disediakan. Karakter masyarakat tersebut dalam bahasa Sunda diberikan gelar hardolin (dahar, modol, ulin atau makan, BAB, bermain).

Pemimpin pun harus menggendong dan memikul masyarakat yang sudah tidak mampu lagi berjalan, yang memerlukan penolong sehingga dapat bergeser hidupnya sebagaimana kelompok masyarakat lain yang sudah mampu berjalan.

Namun, kita bisa melihat realitas, banyak juga yang dari sisi pandangan mata tidak mampu karena keterbatasan fisik, tetapi menolak ketika akan digendong dan tetap berusaha untuk mampu berjalan sendiri.

Karakter masyarakat yang paling parah dalam kehidupan adalah mereka yang memiliki karakter pemarah serta malas.

Dalam kaidah kepemimpinan budak angon, ketika masyarakat enggan digiring, dituntun, dan dipanggul, maka dia akan menggunakan jurus pamungkas dengan masuk dalam fase yang menyeramkan, yaitu digusur.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com