Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Gugat Perusahaan Australia Soal Pencemaran Laut Timor, Warga NTT Minta Dukungan Jokowi

Kompas.com - 14/09/2016, 05:46 WIB
Sigiranus Marutho Bere

Penulis

KUPANG, KOMPAS.com - Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) diminta untuk mendukung gugatan class action 13.000 petani rumput laut asal Nusa Tenggara Timur (NTT), yang saat ini sedang berlangsung proses persidangan di Pengadilan Federal

Baca: Senin, Pengadilan Australia Gelar Sidang Perdana Pencemaran Laut

Hal itu itu disampaikan Ketua Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) Ferdi Tanoni kepada Kompas.com, Selasa (13/9/2016) malam.

“Saya meminta kepada pemerintahan Presiden Joko Widodo agar dapat memberikan dukungan total terhadap upaya rakyat NTT yang sedang mencari keadilan di Pengadilan Federal Australia, untuk menangkis kebohongan yang dilakukan oleh PTTEP Australasia kepada Indonesia,” ucap Ferdi.

Hal itu menanggapi pemberitaan BBC TV soal pencemaran minyak di Laut Timor 2009 dalam program BBC World News, Senin (12/9/2016), bahwa PTTEP Australasia menyebutkan tumpahan minyak Montara tidak menjangkau pantai-pantai di Indonesia, karena jarak terdekat dari pantai di Australia ke Pulau Rote adalah 500 kilometer atau 269 mil laut.

“Anjungan minyak Montara yang meledak pada 2009 itu bukan terletak di pantai Australia sebagaimana diklaim oleh PTTEP Australasia, tetapi terletak di tengah Laut Timor yang hanya berjarak sekitar 248 kilometer saja dari Pulau Rote, sehingga letaknya lebih dekat ke Pulau Rote dibanding kalau ke Australia,” ucap dia.

Dalam pemberitaan itu, lanjut Ferdi, PTTEP Australasia juga mengakui tidak pernah melakukan studi ilmiah di perairan Indonesia terhadap dampak dari ledakan anjungan minyak Montara 2009 yang mencemari Laut Timor.

"Perusahaan itu (PTTEP Australasia) malah mempersalahkan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (waktu itu) dengan alasan tidak memberikan izin penelitian kepada mereka," kata Ferdi.

Ferdi menyebutkan, PTTEP Australasia telah menerbitkan sebuah lembaran fakta (fact sheet) dengan mengklaim bahwa tumpahan minyak Montara tidak menjangkau pantai-pantai di Indonesia berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan tim ahli independen dari sejumlah perguruan tinggi di Indonesia.

Karena itu, kata Ferdi, bantuan penuh dari pemerintah Presiden Jokowi diharapkan bisa membuat para petani rumput laut asal NTT akan merasa bangga.

Untuk diketahui, Sidang perdana gugatan class action 13.000 petani rumput laut asal Nusa Tenggara Timur (NTT) terhadap PTTEP Australasia yang mengelola kilang minyak Montara digelar Pengadilan Federal Australia, Senin (22/8/2016).

Gugatan tersebut didaftarkan Daniel Senda, petani rumput Laut asal Kabupaten Rote Ndao pada 3 Agustus 2016 lalu.

Gugatan itu, dibagi dalam tiga bagian yakni pencemaran laut yang menghancurkan rumput laut milik petani, dampak pencemaran terhadap hasil tangkapan nelayan, dan yang terakhir yakni terhadap kesehatan warga di NTT.

"Gugatan ini ditangani dua pengacara yakni Ben Slade dari Kantor Pengacara Maurice Blackburn Lawyers di Australia, dan Greg Phelps dari Ward Keller, kantor pengacara terbesar di Australia Utara,” ujarnya.

Kilang Montara di Blok Atlas Barat Laut Timor, meledak pada 21 Agustus 2009 lalu sehingga mencemari wilayah perairan budi daya rumput laut di 11 kabupaten dan satu kota di NTT yakni Kabupaten Rote Ndao, Sabu Raijua, Alor, Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Malaka, Kupang, Sumba Barat, Sumba Timur, Sumba Tengah, Sumba Barat Daya dan Kota Kupang.

Baca: Kasus Pencemaran Laut Timor, Nelayan NTT Lihat Pesawat Australia

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com