Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Putri Petani Penderita Lupus yang Tak Ingin Orangtuanya Bersedih

Kompas.com - 23/08/2016, 07:09 WIB
Kontributor Lampung, Eni Muslihah

Penulis

BANDARLAMPUNG, KOMPAS.com - Seorang remaja putri mengenakan kaus merah menyapu di halaman rumahnya. Lia Apriyanti (15), namanya, tinggal bersama kedua orangtuanya di Desa Bandar Anom, Kecamatan Rawajitu Utara, Kabupaten Mesuji, Provinsi Lampung.

Senyuman mengembang dari bibirnya seperti menunjukkan tidak terjadi sesuatu apa pun pada dirinya. Padahal Lia telah divonis menderita lupus sejak tiga tahun terakhir.

Suyati (45), ibunda Lia, menceritakan mulanya muncul gejala panas ketika dia kelas 6 SD. Keluarga membawa gadis bermata bulat ini ke puskesmas.

"Ketika itu dia mengeluh sakit persendian, mual dan rambut mulai rontok. Dokter setempat bilang hanya sakit biasa," kisahnya.

Kemudian selang beberapa waktu Lia mengeluhkan sakit lagi dan orangtua membawa ke rumah sakit di Kabupaten Pringsewu.

"Sampai sana dokter menyarankan untuk diopname karena anak saya mengidap penyakit lupus," kata Suyati.

KOMPAS.com/Eni Muslihah Lia Apriyanti (15), remaja penderita lupus (kiri) dan ibunya.
Dia tidak mengerti lupus lalu dokter memberi penjelasan dan sejak saat itu tepatnya tiga tahun lalu orangtua Lia berusaha memberi pengobatan maksimal.

Hari demi hari dijalani oleh Lia, tentu dengan rutin mengkonsumsi obat menekan laju virus lupus yang tinggal dalam tubuhnya. Kegiatan sekolah sudah diberhentikan sejak kelas 1 SMP. Lia tidak boleh banyak menguras fisik karena dapat memicu kolaps.

Sehari, secara rutin Lia minum obat Cellcept sedikitnya empat butir belum obat tambahan lainnya. Keluarga petani itu harus menyiapkan dana sekitar Rp 3,5 juta per bulan untuk satu jenis obat saja.

"Obat ini harus ada setiap hari tidak boleh telat diberikan," ujarnya.

Semua biaya obat ditanggung orangtua Lia yang hanya bekerja sebagai petani sejak divonis mengidap lupus dua tahun lalu.

"Sebagian tanah peninggalan orangtua dulu nyaris habis terjual untuk biaya pengobatan anak saya," kata dia.

Sedangkan kartu BPJS yang dimilikinya tak mampu menutupi biaya pengobatan Lia.

"Hanya obat generik yang bisa ter-cover BPJS, sisanya kami penuhi sendiri," ujar Suyati.

Pihaknya sudah menyampaikan kondisi ini dengan aparat desa setempat tetapi belum ada hasil yang menggembirakan.

Sebulan terakhir, Lia sudah bolak-balik dirawat di Jakarta untuk penanganan intensif karena ada keluhan lain yang dirasakan. Lia mengalami pembengkakan pada tubuhnya karena terdeteksi ada enam titik kebocoran pada ginjalnya.

"Kami sudah kehabisan akal dengan cara apalagi untuk bisa mengobati anak saya," tuturnya.

Walaupun sakit, Lia tetap ingin membahagiakan hati kedua orangtuanya. Sesekali dia membantu ibunya membereskan rumah walaupun sering dilarang. Bahkan terkadang dia bersolek untuk menyamarkan pucat yang terpancar dari wajahnya.

"Saya mau Ibu dan Bapak tidak bersedih dengan keadaan saya seperti ini," tutup Lia penuh dengan ketegaran.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com