Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Anggia Anggraini, Pejuang Kemerdekaan Pendidikan bagi Anak Pemulung

Kompas.com - 16/08/2016, 05:31 WIB
Kontributor Pontianak, Yohanes Kurnia Irawan

Penulis

PONTIANAK, KOMPAS.com – Suasana sekolah taman kanak-kanak yang terletak di Jalan Untung Suropati siang itu terlihat lengang. Hanya ada beberapa orang anak yang menggendong tas di pundak mereka.

Menjelang pukul 15.00 WIB, satu persatu anak-anak kemudian berdatangan. Mereka langsung menuju ke salah satu bangunan berukuran 6x6 meter yang ada di bagian pojok kompleks sekolah tersebut.

Sesosok perempuan berkerudung terlihat menanti di depan bangunan itu. Satu per satu, anak-anak itu kemudian menyalami perempuan yang mereka panggil dengan sebutan kakak itu dan langsung masuk ke bangunan tersebut.

Setibanya di dalam, anak-anak kemudian menyusun dan menata meja yang akan digunakan untuk belajar. Setelah semua berada di posisi masing-masing, perempuan itu kemudian menginstruksikan salah satu anak untuk memimpin doa sebelum pelajaran dimulai.

Begitulah sekilas gambaran suasana Rumah Belajar Khatulistiwa Berbagi pada suatu sore Minggu kedua Agustus lalu. Rumah belajar itu menumpang atau meminjam bangunan tak terpakai bekas gudang yang disulap menjadi sarana belajar yang ada di kompleks TK Kartika.

Anak-anak ini, bukan siswa di TK tersebut. Mereka adalah anak-anak pemulung yang tinggal di sekitar permukiman kumuh atau kawasan yang dikenal dengan nama waduk tersebut. Mereka hanya dipinjami gedung itu untuk belajar pada sore hari.

Anggia Anggraini, sosok perempuan berkerudung yang dipanggil Kak Anggi oleh anak-anak ini terlihat semangat. Perempuan kelahiran tahun 1988 ini merupakan guru informal bagi anak-anak pemulung itu.

Anak-anak itu dikumpulkan Anggi sejak tahun 2013 silam. Saat itu, tanpa sengaja ia melewati kawasan pemulung dan melihat banyak anak yang terpaksa ikut bekerja sebagai pemulung.

Hati Anggi, demikian namanya akrab dipanggil, kemudian tergerak ketika ia mengetahui bahwa anak-anak ini mendapat diskriminasi pendidikan di sekolah mereka masing-masing. Saat itu, banyak dari mereka yang putus sekolah lantaran tidak mampu untuk membeli baju seragam, buku, maupun perlengkapan penunjang sekolah lainnya. Padahal, mereka bersekolah di sekolah negeri milik pemerintah.

“Nah, itu yang memotivasi saya untuk membantu mereka. Kalau sekarang mereka hanya memulung tanpa sekolah, dua tiga tahun kemudian mereka akan tetap memulung dan tidak dapat pendidkan yang layak,” kata Anggi usai mengajar anak-anak itu kepada Kompas.com, Rabu (10/8/2016) lalu.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com