Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Banyucindih, Kreator Film Asal Desa di Kaki Gunung Ijen Banyuwangi

Kompas.com - 14/08/2016, 16:43 WIB
Kontributor Banyuwangi, Ira Rachmawati

Penulis

BANYUWANGI,KOMPAS.com - Tidak ada yang menyangka bahwa Dusun Banyucindih Desa Segobang, Kecamatan Licin, di kaki Gunung Ijen, Banyuwangi, Jawa Timur, melahirkan anak-anak muda berbakat pembuat film. Mereka bergabung dalam komunitas Banyucindih.

Tidak tanggung-tanggung, karya film yang mereka hasilkan berhasil menyabet karya terbaik dalam Denpasar Film Festival 2014. Mereka juga mendapatkan Piala Ki Dewantara dari Kementerian Pendidikan Kebudayaan pada Apresiasi Film Indonesia pada 2015.

Film tersebut berjudul "Tumiran". Film tersebut menceritakan laki-laki asal banyuwangi yang merantau ke Lombok dan harus pulang setiap tahun untuk mengikuti ritual Kebo-keboan di Desa Aliyan, Kecamatan Rogojampi, Banyuwangi.

Tumiran mewakili garis keturunan pelaku riual Kebo-keboan sejak berusia 22 tahun hingga 63 tahun.

"Karena pengabdiannya pada ritual Kebo-keboan, Tumiran memilih tidak pulang saat Lebaran dan hanya pulang saat ritual Kebo-keboan karena kondisi ekonomi yang tidak memungkinkan dia untuk terlalu sering pulang ke Banyuwangi," kata Vicky Hendri Kurniawan, sutradara film "Tumiran", kepada Kompas.com, Minggu (14/8/2016).

Pendiri komunitas Banyucindih itu mengungkapkan, film "Tumiran" menghabiskan dana sekitar Rp 20 juta yang diambil dari kantong pribadi. Proses pembuatannya menghabiskan waktu sekitar setahun untuk riset, shooting, serta penyuntingan.

"Alhamdulilah, film 'Tumiran' pernah diputar di Pameran ISI di Malaysia pada tahun 2014 serta di Indo Film Cafe Belanda tahun 2015 dan di Frankfurt Book Fair 2015," kata lajang berusia 25 tahun tersebut.

Bukan hanya "Tumiran", tangan dingin anak-anak muda Banyucindih juga melahirkan film lain berjudul "Limnoclaris Flava". Nama itu diambil dari nama Latin genjer, tumbuhan rawa yang banyak di jumpai di sawah atau perairan dangkal.

Di film tersebut, komunitas yang memiliki anggota 8 orang itu ingin memotret lagu Genjer-genjer asal Banyuwangi yang dianggap bagian dari G30S PKI.

"Di film itu kami ingin memberikan pemahaman serta mengubah gambaran kepada masyarakat tentang lagu Genjer-genjer yang dianggap lagu PKI. Padahal lagu tersebut menggambarkan kondisi masyarakat Indonesia saat itu yang susah mendapatkan bahan makanan sehingga harus mengonsumsi daun genjer," kata Vicky.

Film tersebut kemudian berhasil masuk dalam nominasi film dokumenter di Aceh Film Festival (AFF) 2015. Juga menjadi The Best Movie and Best Idea Documentary Making Competition di ajang The 9 Documentary Days 2015 yang diselenggarakan Universitas Indonesia.

Vicky mengaku sengaja kembali ke desanya dan mempraktikkan ilmu yang ia dapatkan setelah lulus dari kuliah di Institut Seni Indonesia Yogyakarta jurusan Media Rekam Televisi.

"Saya anak desa. Jalan ke rumah masih batu-batuan di kaki Ijen," katanya sambil tertawa.

Karena letaknya agak jauh dari Kota Banyuwangi, Vicky dan rekan-rekannya mengaku butuh tenaga dan waktu ekstra jika ada pekerjaan di tempat lain, apalagi jika kondisi malam hari. Mereka tidak pernah menganggap itu sebagai beban.

Nama komunitas yang ia dirikan bersama rekan-rekannya diambil dari nama dusun tempat tinggal mereka, yaitu Banyucindih. Banyu berarti air, sedangkan cindih bermakna corak atau motif.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com