Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengembalikan Kejayaan Kopi Jawa Barat

Kompas.com - 28/06/2016, 15:03 WIB

KOMPAS.com - Jerih payah petani kopi Jawa Barat kini berbuah manis. Mereka tidak hanya mampu menghidangkan kopi yang nikmat, tetapi juga berhasil membawa pulang warga rantau hingga mengharumkan nama Indonesia.

Suhu rumah kaca berbahan plastik tebal di Kampung Kolelaga, Desa Pasirmulya, Kecamatan Banjaran, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, mencapai 40 derajat celsius, Senin (23/5/2016) siang.

Namun, Ayi Sutedja (51), petani kopi sekaligus pemilik rumah kaca tidak terganggu. Berbaju hitam lengan panjang, ia tekun membolak-balik biji kopi arabika yang terhampar di rak bambu beralas jaring plastik.

"Tahun lalu, biji dari pohon yang sama laku dilelang 55 dollar AS di Specialty Coffee Association of America (SCAA) Expo di Amerika Serikat," katanya.

Dalam lelang kopi terbesar di Amerika Serikat, kopi gunung puntang milik Ayi mendapat nilai uji cita rasa 86,25. Beragam aroma buah tropis, sedikit asam, hingga manis di akhir seruputan membuat kopi itu menjadi yang terbaik di antara 17 jenis kopi spesial Indonesia.

Kopi gunung puntang sebelumnya nyaris tak terdengar. Kopi ini ditanam di lembah antara Gunung Puntang dan Gunung Tilu di Kecamatan Banjaran, Kabupaten Bandung. Namanya tenggelam di antara kopi sumatera, papua, bali, hingga sulawesi. Lima tahun lalu, Ayi bahkan masih bekerja sebagai kontraktor listrik.

Ayi mengatakan, tradisi menanam kopi sudah lama dilakukan warga setempat. Namun, karena pembelian tengkulak yang hanya Rp 2.500 per kilogram, petani tidak bergairah menanam. Kopi hanya menjadi tanaman selingan atau sekadar tanaman pagar.

Pertemuannya dengan petani kopi dan pembibit lokal di kaki Gunung Puntang pada 2011 menjadi awal perjalanannya. Punya hobi naik gunung, Ayi yakin kopi tidak hanya menguntungkan secara ekonomi, tetapi juga menjaga lingkungan.

Lewat buku dan masukan dari petani kopi lain, ia belajar otodidak menanam kopi buhun (tua) dari lereng Gunung Guntur, Garut. Untuk mendapatkan hasil terbaik, ia menanam 1.000 pohon per hektar agar bisa dipanen 1-2 kg per pohon.

Ayi juga tak menggunakan pupuk kimia. Pohon pelindung berakar kuat seperti avokad hingga jambu ditanam melindungi kopi dari terik sinar matahari. Pola itu mencegah longsor di kawasan yang dulu ditanami sayuran.

"Saat panen pertama atau empat tahun setelah ditanam, kopi ini memberi kesejahteraan petani dan melindungi lingkungan sekitar," kata Ayi.

Kejayaan masa lalu

Sukses kopi Jabar ini seperti mengulang kejayaan masa lalu. Ditanam sejak 1699, hasil penjualannya ke Eropa. Saking tenarnya, kopi Jabar pernah dikenal di Eropa dengan nama A Cup of Java (Secangkir Kopi dari Jawa). Namun, pada pertengahan 1800-an, kopi di Jabar banyak mati karena serangan hama karat daun.

Namanya baru muncul lagi sekitar 1997 saat beberapa perkebunan kecil kembali muncul. Pada 2012, kopi Jabar kembali diekspor ke Eropa. Data Dinas Perkebunan Jabar mencatat, dalam kurun waktu 2012-2015, ekspor biji kopi mencapai 187 ton dengan nilai 1,3 juta dollar AS. Keinginan belajar para petaninya menjadi salah satu kunci sukses itu.

Ayi tidak sendirian. Ada 113.766 petani Jabar yang menggarap kopi di lahan seluas 32.000 hektar. Salah satunya Wildan Mustofa (49), petani kopi di Bandung Barat.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com