Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Batam, Kota Ilegal dan Mahal?

Kompas.com - 25/06/2016, 12:31 WIB
Kris R Mada

Penulis

KOMPAS.com - Kota Batam, Kepulauan Riau masih lekat dengan citra sebagai tempat mendapat aneka produk ilegal. Ironinya, warga harus membayar mahal untuk produk-produk yang asal-usul dan keamanannya tidak jelas itu.

Indikasi terbaru peredaran produk ilegal di Batam diungkap Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Penyelidikan KPPU menemukan indikasi sedikitnya 1.500 ton daging ilegal dan tidak jelas asal-usulnya beredar di Batam sepanjang 2016. Diduga, daging tidak jelas itu sudah beredar bertahun-tahun di Batam.

Kepala Kantor Perwakilan KPPU Batam Lukman Sungkar menyebut, setiap hari Batam perlu 11,5 ton daging. Namun, hanya 1 ton yang jelas asal-usulnya. Sisa 10,5 ton lagi tidak jelas dipasok dari mana.

Penyelidikan KPPU dipicu harga daging yang mencapai Rp 140.000 per kilogram. Dalam proses penyelidikan ditemukan indikasi persaingan usaha tidak sehat. Pihak tertentu di Batam mengontrol 90 persen porsi pasar dengan daging ilegal.

Penguasaan pasar setinggi itu membuat para pedagang tersebut bisa mengontrol harga. Akibatnya, warga berpotensi dirugikan berkali-kali. Tidak hanya harus menanggung harga tinggi, warga juga mengonsumsi daging yang tidak jelas keamanannya.

“Batam, juga seluruh Kepri, bukan daerah penghasil daging. Daging sebanyak itu diduga kuat didatangkan dari luar Kepri,” tuturnya.

Jika disebut impor, pasokan sebanyak itu tidak tercatat di lembaga manapun yang terkait soal pangan di Batam. Batam juga bukan pintu masuk daging impor dari jalur resmi yang berasal dari Australia.

Sejumlah pihak pernah mengusulkan impor sapi dan daging dari India yang menawarkan harga lebih rendah dari Australia. Namun, negara itu belum bebas penyakit kuku dan mulut. Meskipun demikian, sejumlah pihak menyelundupkan daging dari India ke Indonesia (Kompas, 14/6/2016).

Ironinya, pasokan daging selundupan dan tidak jelas keamanannya itu tidak juga membuat harga turun. Di pasar, harga daging tetap lebih tinggi dari Rp 120.000 per kilogram. Warga tetap harus membayar mahal untuk daging yang berpotensi mengandung penyakit, serta tidak jelas proses pengolahannya itu.

Produk Lain

Tak hanya daging, ribuan ton beras dan gula juga diduga diselundupkan dari India. Aparat berkali-kali menangkap para penyelundup itu saat sudah di perairan Indonesia.

Namun, kapal-kapal yang ditangkap kerap hanya kapal-kapal kecil. Petugas patroli Direktorat Jenderal Bea dan Cukai kerap menyaksikan kapal kargo besar didekati banyak kapal lebih kecil. Dari kapal besar itu, beras dan sejumlah bahan pangan lain dipindahkan ke kapal-kapal lebih kecil.

Proses itu berlangsung di perairan internasional, sehingga tidak bisa disentuh hukum negara manapun. Setelah proses bongkar muat selesai, kapal-kapal kecil berpencar ke berbagai arah.

Dinas Perdagangan Batam pernah menyebut 90 persen bahan pangan Batam dipasok penyelundup. Dari perdagangan beras saja, penyelundup meraup hingga Rp 1,1 triliun tiap tahun. Sebagian dipakai untuk menyuap berbagai pihak agar tidak mengganggu rantai penyelundupan.

Namun, banyaknya pihak yang harus disuap membuat biaya memasukkan beras dan aneka produk lain tetap tinggi. Seluruhnya dibebankan ke konsumen yang tetap harus menanggung harga selangit.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com