Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah di Balik Insiden Penembakan Warga dan Pembacokan Polisi di Pertambangan Bengkulu

Kompas.com - 12/06/2016, 21:21 WIB
Firmansyah

Penulis

BENGKULU, KOMPAS.com - Insiden yang menyebabkan delapan warga luka tembak dan seorang polisi mengalami luka bacok saat unjuk rasa di lokasi pertambangan PT  Citra Buana Selaras (CBS) di Kabupaten Bengkulu Tengah, Provinsi Bengkulu, Jumat (11/6/2016) memiliki cerita panjang.

Menurut warga dari 12 desa yang menggelar aksi unjuk rasa,  insiden tersebut puncak dari kekecewaan warga terhadap lambannya respons pemerintah.

"Pada intinya warga masyarakat menolak aktivitas pertambangan bawah tanah (underground) dikarenakan masyarakat takut bila tanah pekarangan dan permukiman yang dilalui terowongan itu akan ambruk," kata Indra salah seorang warga Desa Komering, Minggu (12/6/2016).

Ia berhadap permintaan warga itu segera disikapi oleh Pemda Bengkulu Tengah.

Sementara itu, Ketua Forum Masyarakat Rejang Gunung Bungkuk (FMRGB), Nurdin mengisahkan, konflik sesungguhnya dimulai sejak tahun 1991, saat itu pemerintah melakukan program Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK), berimbas pada meluasnya kawasan hutan lindung dan mengecilnya wilayah kelola rakyat.

"Kawasan hutan lindung menjadi luas akibatnya kebun masyarakat menjadi hilang dan menyempit, padahal kakek atau pendahulu kami mendiami kawasan hutan itu sejak Indonesia belum merdeka, kami dari Masyarakat Adat Juru Kalang," cerita Nurdin.

Akibat perluasan hutan banyak kebun, pemakaman penduduk masuk dalam kawasan hutan, masyarakat bahkan tidak memiliki tanah garapan.

Selanjutnya, di sisa tanah yang dimiliki warga,  banyak perusahaan pertambangan yang berdatang. Saat itu masih menggunakan pertambangan terbuka (open pit).

Saat pertambangan terbuka warga menerima, namun saat PT CBS melakukan operasi tambang bawah tanah, warga menolak.

"Kalau tambang tertutup, kami takut ambruk, kami tidak dapat melihat sejauh mana dampak aktivitas pertambangan, tambang tertutup akan membuat perangkap kehidupan bagi masyarakat yang akan datang, kami harus mewariskan tempat yang baik pada generasi mendatang," ucap Nurdin.

Dalam catatan Kompas.com, aksi hearing warga menolak pertambangan sudah dilakukan beberapa kali. Ribuan masyarakat juga pernah menggelar aksi unjuk rasa di gedung Pemda Bengkulu Tengah, hingga aksi Jumat (11/6/2016) berakhir pada bentrok.

Selain mengeluhkan pertambangan tertutup masyarakat juga mempertanyakan sosialisasi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang dilakukan hanya pada tataran kepala desa, Sekdes, dan Badan Perwakilan Desa (BPD).

"Sosialisasi dilakukan hanya pada perangkat desa, disampaikan di sebuah hotel, sementara di kampung perusahaan hanya sebarkan surat edaran, mengapa mereka tidak berkomunikasi dengan masyarakat langsung," ungkap Nurdin.

Sementara itu Kepala Desa Lubuk Unen Baru, Jawawi, menyatakan pertemuan yang dilakukan oleh PT CBS bersama masyarakat pernah dilakukan beberapa kali.

"Memang ada pihak tambang melakukan pertemuan, namun PT CBS masuk tahun 2012 saya belum jadi Kades, saya banyak tidak tahu soal perizinan," ucap Jawawi.

Adapun Kepala teknik Tambang PT CBS Danu Ardianto menilai, kekhawatiran warga tersebut terlalu berlebihan. Menurut dia, kondisi lokasi pertambangan memungkinkan untuk tambang bawah tanah.

"Konsesi PT. CBS mencapai 2.600 hektar, namun baru empat hektar yang dieksploitasi dan dibuat terowongan, kedalaman terowongan baru 17 meter, tidak semua kawasan konsesi ada batu baranya," kata Danu.

Ia juga mengaku heran dengan permintaan masyarakat yang meminta tambang ditutup, padahal izin dan tahapan telah dilakukan perusahaan.

"Maunya masyarakat itu cuma satu, tutup tambang, tidak ada alternatif lain, padahal perusahaan telah memenuhi segala syarat dan ketentuan," ujar dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com