Di pagi hari pertama puasa, matahari belum beranjak keluar dari peraduannya. Kabut biru menyelimuti langit dalam gemuruh tasbih yang tak pernah berhenti, tak mengenal waktu dan musim, tanpa lengking kata yang terucap dalam kerasnya pengeras suara.
Kuraih sepeda yang selalu menemaniku setiap pagi, lalu kukayuhkan kakiku seakan ingin kukatakan, “Janganlah manja karena puasa”.
Kujumpai para penyapu jalanan menyusuri tepi-tepi ujung aspal dengan sapu yang berjalan teratur seperti berucap dan menyapa penuh kelembutan dalam dzikir pagi yang mengantar indahnya para pejalan kaki menyusuri jalan-jalan bersih.
Namun kealiman mungkin tak berpihak kepada para penyapu jalanan yang sampai saat ini tak ada gelar suci yang melekat pada dirinya.
Seluruh pandangan mata seolah melecehkannya, baju yang lusuh, kulit yang legam, rambut bergerai tak teratur, seperti tak ada kemuliaan dan kehormatan yang boleh disandangnya kecuali gelar emang dan ibi tukang sapu jalanan.
Kulihat truk berwarna oranye membawa tumpukan sampah. Dari atas truk melompat turun lelaki separuh baya, kemudian menaikkan sampah dari bak penampungan yang tersedia.
Beragam benda nampak di pelupuk mata; serpihan kaca, telur busuk, tumpukan pembalut wanita, hingga sisa makanan bahkan kotoran dengan bau busuk yang menyengat.
Lelaki setengah baya itu nampak bergeming, raut mukanya tak berubah, tangan terampilnya meraih seluruh perkakas yang ada, menaikkannya ke atas truk, berlari dan kembali melompat bergelantung tanpa sedikit pun rasa takut.
Terbayang dalam pikiranku, andaikata tak ada orang yang seperti mereka, jadi apakah kota ini? Orang-orang terpelajar hanya bisa menghasilkan sampah, para cerdik pandai hanya bisa membuang sampah.
Sekolah tak mengajarkan tata cara mengelola sampah, seolah semuanya tak penting, karena sudah ada petugas yang bergaji kecil yang tak menuntut gelar dan kehormatan apapun.
Segudang gelar melekat pada dirinya, S1, S2, bahkan doktor yang memiliki watak akademik dengan segenap bonus yang diberikan, mulai dari gaji pokok, tunjangan jabatan, beban kerja, prestasi kerja, biaya makan minum, biaya perjalanan dinas, biaya bahan bakar, honorarium dan segudang embel-embel lainnya seiring dengan kepangkatan dan jabatan yang disandangnya. Satya lencana mengiringi seluruh perjalanan dan masa pengabdiannya.
Selepas apel mereka kembali ke ruangan, bercengkerama sesama kawan dengan mata yang tertuju pada gawai yang tak pernah lepas dari tangannya.
Berjam-jam waktu ditunggu, serasa demikian lama perjalanan puasa. Tumpukan rencana mengoyak seluruh isi kepalanya.
Kuraih kembali sepedaku untuk melanjutkan perjalanan. Pikiranku terus berkecamuk, menghiasi renunganku hari ini seraya bertanya, kemuliaan itu milik siapa?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.